Ini adalah cerpen, bisa dibilang begitu. Tapi cerpen ini bukan karangan asliku. ini adalah cerpen temanku mahasiswa Uiversitas Negeri Jakarta (UNJ). Entah karya dia beneran apa bukan, yang jelas aku mendapatkan cerpen ini dari dia, Amar namanya, Amar Ar-Risalah. Nama yang indah bukan, tapi sayang orangnya tidak secakep namanya. tapi walau pun begitu aku mengaguminya, khususnya karya-karyanya. puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, bahkan pertunjukan-pertunjukan dramanya pun aku sukai. Eitzz. .... . walau aku menyukai karyanya bukan berati aku menyukai orangnya ya, dia itu iuh bingitz,. anak metropolitan yang sok banget, gayanya yang sok yes, sok cool... hahaha... jadi inget temen semasa SMA dulu, sok YES, sok COOl., ah, udah-udah, malah cerita ke mana-mana,. ini cerpennya, dibaca ya... dijamin kalian akan kecanduan., ;) terima kasih telah membaca.,
...
Ada sosok mayat laki-laki. Masih
segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok orang. orang-orang itu
ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu. perseteruan itu demikian
seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan. Padahal mereka hanya
sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot menentukan siapa yang
menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban adalah orang kurang
beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim oleh Tuhan untuk
membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar pembunuh sangatlah
membanggakan.
“Itu korbanku! Jelas, lihat luka di tangannya!” Pembawa
Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu cukup banyak. Sudah jelas ia
mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang sudah sangat besar sebagai Si
Kapak Malaikat.
“Sembarangan. Sudah jelas di pahanya itu membulat bekas
pukulan gada milikku. Paling tidak, tulangnya hancur sekarang. Gadaku ini luar
biasa kerasnya! Ia dibuat dari baja dan pembuatannya sangat lama” Kata
Penggada. Gadanya memang besar. Mematikan, tentu saja.
“Tetapi,” sela Pengguna Pisau, “Lihat sayatan di
punggungnya! Cukup panjang bukan? Kulitnya sampai terkelupas. Pisauku ini biasa
digunakan untuk mengupas kulit kerbau!” Pengguna Pisau tidak terima. Ia bahkan
menggores-goreskan pisaunya ke batuan karena kesal. Pisau Damaskus, adalah
pisau yang dikenal paling tajam di dunia. Ia mampu memotong (bukan merobek atau
menggergaji) besi dan sutera.
Perdebatan makin sengit. Menunjukkan
muka yang meremehkan dan menafikan pendapat semuanya. Sementara mayatnya diam.
Semua masih memegang senjatanya sendiri.
“Kalian jangan berebut. Lihat itu perutnya. Besar sekali
terbelah, sudah jelas pedang tajamku ini yang membunuhnya! Alat-alat seperti kalian
itu tidak bisa bahkan melukai sampai dalam!” Pengguna Pedang memang kuat.
Tetapi, pedang panjangnya itu seringkali mengurangi kecepatannya.
“Dasar sesumbar!” bentak Pelempar Batu.” Lihat benjol di
keningnya itu! besar kan! Kalian mau benjol juga! jelas-jelas batu lemparanku
tadi mengenainya. Kenapa mesti ribut?!” Ia terkenal sekali sebagai pemburu,
pelempar batu andal dari gunung.
Situasi makin panas. Mereka terus menerus berdebat. Bahkan
para pengguna senjata itu hampir saja mengangkat senjata lagi, sebelum
diberikan jalan keluar oleh pengguna Gada. “Begini, katanya. “Kalau memang
rumit, mayat ini kita simpan dulu di pondok. Bagaimana kalau kita
renung-renungkan dulu, apa benar senjata kita yang membunuh mayat itu, dengan
kepala dingin!”
Terlalu lama! Sambung yang lain. “Mau sampai kapan?!”.
Pembunuh adalah gelar bergengsi. Masak iya harus ditunda-tunda.
Satu hari! Sebelum orang-orang ramai dan mencari-cari si
mayat ini! bagaimana?” semua setuju. Mereka menyimpan mayat itu di pondokan
mereka, sementara, mereka berpencar. Mencari tempat merenung yang dipandang
paling baik.
Ada yang pergi ke hutan sepi, hingga yang terdengar adalah
suara air dan serangga. Ada yang pergi ke kuil tempat biksu-biksu berdoa. Ada
juga yang pergi ke lantai atas pondoknya, dan bersemedi. Pokoknya macam-macam.
Yang penting sepi, dan enak buat merenung.
****
Manusia adalah makhluk yang lumayan logis. Maksudnya, ia
pasti berpikir untuk memuaskan logikanya sendiri. Padahal, logika adalah
masalah masuk akal berbanding kemungkinan. Ada beberapa hal masuk akal, tetapi
tidak mungkin terjadi. Ada yang mungkin terjadi, tapi dianggap tidak masuk
akal.
“Kapakku ini besar dan berat. Masak iya tidak melukai sama
sekali? kalau kupikir, tangannya itu mengeluarkan banyak darah. Pasti ia mati
kehabisan darah, atau minimal menanggung rasa sakit akibat luka itu.”
Pikirannya mulai merayap kemana-mana.
“Tetapi... setahuku luka di tangan itu tidak mematikan.
Andaikata ia mati kehabisan darah, tentu tidak akan secepat itu. ada kemungkinan
ia mati dengan serangan bersama sehingga darah cepat habis dari semua
luka-lukanya” Pembawa Kapak ini pikirannya logis juga. hmm, seandainya korban
memang mati karena sayatan di tangan, bukankah tangan tidak mengandung
syaraf-syaraf penting, kecuali si Korban ini punya otak di tangannya.
Pikiran Penggada begini jalannya: “Paha itu organ vital,
memang. Gadaku ini meninggalkan bekas yang jika ia masih hidup, sakitnya luar
biasa. Tulangnya kupastikan hancur menjadi serpihan-serpihan. Bahkan ia jatuh
ke tanah gara-gara gadaku itu. hrrrr....”
“hanya saja, aku sendiri sering melukai pahaku dalam
perkelahian. Tetap aku tidak mati. Tak jarang aku hanya pincang, meski tulangku
kerap-kali patah dan butuh bertahun-tahun untuk sembuh. Aku yakin sekali,
sepertinya memang bukan luka dari gadaku itu yang membunuhnya, tetapi semua
luka-lukanya....”
Lain lagi dengan Pengguna Pedang. “Ususnya memang tidak
sampai terburai keluar. Tetapi lukanya itu lebar sekali. ia harusnya tewas pada
pedangku. Tetapi, aku yang berulangkali ditikam oleh musuh-musuhku tepat di
lambung ini, tidak pernah mati. Aneh juga kalau dia mati karena perutnya sobek.
Jangan-jangan, luka-lukanya itu memang tidak seberapa parah, tetapi ia
hanya jantungan atau lainnya....”
Pengguna Pisau berpikir keras sekali, “Kalau memang sayatan
di punggung itu tidak membunuhnya, sangat luar biasa! Pisauku ini dibuat dari
Damaskus. Bahannya pun mampu membelah sutera tanpa merusaknya. Namun, lukanya
memang tidak dalam... ah, apa gerangan yang membunuhnya? Darah juga tidak
seberapa banyak mengalir, meski lukanya memanjang dari bahu hingga tulang
ekornya....”
Dalam benak Pelempar Batu yang bekerja sebagai pemburu, ia
yakin bahwa ia yang membunuhnya. “Batu yang kulempar tadi lurus menuju
keningnya. Apakah ia tak akan mati dengan itu? luarbiasanya kalau ia tak
mati-mati juga. tetapi memang, kepalanya itu samasekali tak berdarah, hanya
benjol dan biru. Ada yang harus kupastikan. Sepertinya, mustahil juga seseorang
mati hanya karena lemparan di kepala hingga benjol. Terlalu mudah untuk mati
bagi seorang manusia...”
Pikiran mereka berempat seperti diganggu kutu yang luarbiasa
gatalnya, tetapi tak bisa digaruk sebab tak punya tangan. Rasanya seperti kutu
itu menghabisi kepalamu hingga bentol-bentol dan gatalnya luarbiasa. Mau digaruk,
tak punya tangan, tak digaruk, rasanya mau disiram saja dengan api kepala ini.
Atau rasanya seperti ada jamur kecil-kecil seukuran jempol
yang tumbuh, dan akarnya menembus sampai tengkorak. Rasanya gatal dan kau tidak
bisa mencabutnya, sebab itu tumbuh permanen di kepalamu. Maka keempat orang itu
berpikiran sesuatu.
Jika memang luka semua senjata bukan sebab kematian mayat
yang malang itu, maka pastilah luka keempatnya sekaligus yang membunuh mayat
itu. Tidak salah. Tak ada satu senjata tunggal pun yang menjadi sebab kematian.
Ya; luka-luka kolektif si Korban itulah yang akhirnya menghabiskan darah,
ditambah rasa sakit yang serentak muncul dari seluruh tubuh, itulah sebab
kematiannya!
“Begitu, ya” Pikiran mereka akhirnya menyimpulkan sesuatu.
Lalu seperti dirasuki Iblis yang sama, mereka punya sebuah
rencana untuk menentukan pembunuhnya. Agar hanya satu yang menjadi pembunuh
mutlak mayat yang malang itu. bunuh keempat pengguna senjata yang lain!
Mereka, masing-masing, lalu menyusun rencana penyergapan.
Rencananya adalah, tepat di subuh hari. Ketika semuanya berkumpul, ia akan
bunuh ketiga temannya (ini dipikirkan secara serentak, dan semuanya berpikiran
sama). Pukul dengan kapak. Hantam dengan gada. Belah dengan pedang. Tikam
dengan pisau. Lempar dengan batu tajam.
****
Tepat subuh hari, ketika semuanya sepakat bertemu lagi di
tempat kejadian pembunuhan, semuanya mulai mempresentasikan hasil renungannya.
“Ia mati karena kapakku!”
“Ia mati karena gadaku!”
“Ia mati karena pedangku!”
“Ia mati karena pisauku!”
“Ia mati kena lemparanku!”
Mati. Semuanya tak sepakat. Tepat seperti perkiraan mereka.
Dan tepat pada jadwal yang dipikirkan oleh masing-masing pikiran, semua menikam
temannya, dan bertepatan dengan yang lainnya. Luka mereka, entah kenapa, karena
memang terencana tapi bukan oleh mereka, sangat mematikan; tepat di jantung dan
kepala.
“Kita punya rencana yang sama....” gumam mereka lirih
sebelum mati. Keempatnya bergeletakan di jalan. Lalu di pondok, si mayat, mulai
bergerak-gerak. Ternyata darahnya memang habis. Tetapi, luka-lukanya tak cukup
parah. Pondok yang cukup terlindung membuat kesadarannya kembali; ia hanya
pingsan. Ditambah selubung kain membuat badannya tetap hangat. Ia bangun lagi.
Terduduk di lantai, dan mulai menata pikirannya kembali.
Ia mulai dapat bangkit. Berdiri. Melihat sekeliling. Menuju
pintu. Berpikir ia pasti dibawa ke tempat para pengeroyok yang berpikir telah
membunuhnya. Matanya mulai terang. Tangannya yang tak terluka parah mulai dapat
digerakkan. Mencari air minum.
“Hari yang melelahkan....” Pikirnya