COPADA_IPA 2

Grup IPA 2 MAN REJOTANGAN / MAN 3 Tulungagung

COPADA_IPA 2

Dibentuk pada Tahun 2012

COPADA_IPA 2

Dibentuk di Sebuah Ruangan "The Litle Box to get Success"

COPADA_IPA 2

Terdiri Dari 31 Anak, 6 Laki-Laki

COPADA_IPA 2

31 Anak, 25 Perempuan

Jam

Jumat, 13 Juni 2014

SEMINGGU AKU MELIHATMU

goresan tintamu membuat aku terkagum-kagum
sajak-sajak mu kaya akan makna
ceritamu sungguh apik
tak salah memang kalau aku berani menyebutmu seorang sastrawan
penampilanmu sudah seperti sastrawan pada umumnya
pikiranmu begitu terbuka dan cenderung blak-blakan
gayamu yang sok cool
santai
masa bodo
aku suka itu :)


mungkin kemarin kita hanya bisa saling tersenyum satu sama lain tanpa berani menyapa
esok pun mungkin tetap seperti itu
canggung
itu wajar
karena kita tak mengenal
kita hanya saling mengetahui
kau tahu aku, aku pun tahu kamu
tapi kau tak mengenalku, aku pun juga gitu


aku hanya bisa mengagumi hasil karyamu
aku hanya bisa tersenyum melihat sajak dan ceritamu
aku hanya bisa mengucapkan kata selamat dalam hati ketika kau mendapat pujian
aku hanya bisa menjadi penontonmu

lewat sajak itu aku mengenalmu
lewat cerita itu aku mengenalmu
lewat karya-karya itu aku mengagumimu :)

puisiku, puisimu, puisi kita...

AKU INGIN PROTES

aku sama dengan mereka
aku sama dengan kamu
aku sama dengan dia
kita semua itu sama

tapi kenapa kalian anggap aku berbeda?

kita sama sama sedang belajar
iya to?
kamu belajar
aku belajar
dia belajar

tapi kenapa aku kalian sisihkan?

untuk mendapatkan kesempurnaan, maka kita butuh proses
kalau kita kesulitan, kita akan saling membantu
kamu bisa berpendapat
dia bisa berpendapat
aku pun juga bisa berpendapat

tapi kenapa suaraku tidak pernah kalian dengar?

aku manusia
punya batas kesabaran
ingin dirangkul
ingin didengar suaranya
ingin ditemani
ingin diajeni
ingin dikasihi
ingin dianggap

maka aku ingin protes mengenai hal itu



Semarang, 11 Juni 2014

puisiku, puisimu, puisi kita

AKU KUDU PIYE


banyak yang bilang "aku kudu piye"
mungkin aku pun sekarang juga bilang begitu "aku kudu piye"
apalagi kamu pasti juga bingung dan berkata "aku kudu piye"
diapun juga bergumam "aku kudu piye"
lantas kalau sudah seperti ini apa yang akan kita lakukan
yang aku lakukan
yang kamu lakukan
yang dia lakukan
membisu
mengumpat
mengolok olok
mencaci maki
seperti itukah yang kita lakukan?
aku kamu dia mereka kita semua
seperti itukah kita menyikapinya?
kalau tidak lantas seperti apa
seperti keledai? kambing? kucing? kecoa? apa seperti tikus-tikus yang berkepala hitam itu?
aku bingung, kamu pun pasti juga bingung, apalagi dia
dan kita sama sama berkata
"aku kudu piye"


Semarang, 13 Juni 2014

Senin, 09 Juni 2014

Ini adalah cerpen, bisa dibilang begitu. Tapi cerpen ini bukan karangan asliku. ini adalah cerpen temanku mahasiswa Uiversitas Negeri Jakarta (UNJ). Entah karya dia beneran apa bukan, yang jelas aku mendapatkan cerpen ini dari dia, Amar namanya, Amar Ar-Risalah. Nama yang indah bukan, tapi sayang orangnya tidak secakep namanya. tapi walau pun begitu aku mengaguminya, khususnya karya-karyanya. puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, bahkan pertunjukan-pertunjukan dramanya pun aku sukai. Eitzz. .... . walau aku menyukai karyanya bukan berati aku menyukai orangnya ya, dia itu iuh bingitz,. anak metropolitan yang sok banget, gayanya yang sok yes, sok cool... hahaha... jadi inget temen semasa SMA dulu, sok YES, sok COOl., ah, udah-udah, malah cerita ke mana-mana,. ini cerpennya, dibaca ya... dijamin kalian akan kecanduan., ;) terima kasih telah membaca.,


...


Ada sosok mayat laki-laki. Masih segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok orang. orang-orang itu ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu. perseteruan itu demikian seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan. Padahal mereka hanya sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot menentukan siapa yang menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban adalah orang kurang beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim oleh Tuhan untuk membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar pembunuh sangatlah membanggakan.

“Itu korbanku! Jelas, lihat luka di tangannya!” Pembawa Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu cukup banyak. Sudah jelas ia mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang sudah sangat besar sebagai Si Kapak Malaikat.

“Sembarangan. Sudah jelas di pahanya itu membulat bekas pukulan gada milikku. Paling tidak, tulangnya hancur sekarang. Gadaku ini luar biasa kerasnya! Ia dibuat dari baja dan pembuatannya sangat lama” Kata Penggada. Gadanya memang besar. Mematikan, tentu saja.
“Tetapi,” sela Pengguna Pisau, “Lihat sayatan di punggungnya! Cukup panjang bukan? Kulitnya sampai terkelupas. Pisauku ini biasa digunakan untuk mengupas kulit kerbau!” Pengguna Pisau tidak terima. Ia bahkan menggores-goreskan pisaunya ke batuan karena kesal. Pisau Damaskus, adalah pisau yang dikenal paling tajam di dunia. Ia mampu memotong (bukan merobek atau menggergaji) besi dan sutera.

Perdebatan makin sengit. Menunjukkan muka yang meremehkan dan menafikan pendapat semuanya. Sementara mayatnya diam. Semua masih memegang senjatanya sendiri.

“Kalian jangan berebut. Lihat itu perutnya. Besar sekali terbelah, sudah jelas pedang tajamku ini yang membunuhnya! Alat-alat seperti kalian itu tidak bisa bahkan melukai sampai dalam!” Pengguna Pedang memang kuat. Tetapi, pedang panjangnya itu seringkali mengurangi kecepatannya.

“Dasar sesumbar!” bentak Pelempar Batu.” Lihat benjol di keningnya itu! besar kan! Kalian mau benjol juga! jelas-jelas batu lemparanku tadi mengenainya. Kenapa mesti ribut?!” Ia terkenal sekali sebagai pemburu, pelempar batu andal dari gunung.

Situasi makin panas. Mereka terus menerus berdebat. Bahkan para pengguna senjata itu hampir saja mengangkat senjata lagi, sebelum diberikan jalan keluar oleh pengguna Gada. “Begini, katanya. “Kalau memang rumit, mayat ini kita simpan dulu di pondok. Bagaimana kalau kita renung-renungkan dulu, apa benar senjata kita yang membunuh mayat itu, dengan kepala dingin!”

Terlalu lama! Sambung yang lain. “Mau sampai kapan?!”. Pembunuh adalah gelar bergengsi. Masak iya harus ditunda-tunda.

Satu hari! Sebelum orang-orang ramai dan mencari-cari si mayat ini! bagaimana?” semua setuju. Mereka menyimpan mayat itu di pondokan mereka, sementara, mereka berpencar. Mencari tempat merenung yang dipandang paling baik.

Ada yang pergi ke hutan sepi, hingga yang terdengar adalah suara air dan serangga. Ada yang pergi ke kuil tempat biksu-biksu berdoa. Ada juga yang pergi ke lantai atas pondoknya, dan bersemedi. Pokoknya macam-macam. Yang penting sepi, dan enak buat merenung.

****
Manusia adalah makhluk yang lumayan logis. Maksudnya, ia pasti berpikir untuk memuaskan logikanya sendiri. Padahal, logika adalah masalah masuk akal berbanding kemungkinan. Ada beberapa hal masuk akal, tetapi tidak mungkin terjadi. Ada yang mungkin terjadi, tapi dianggap tidak masuk akal.

“Kapakku ini besar dan berat. Masak iya tidak melukai sama sekali? kalau kupikir, tangannya itu mengeluarkan banyak darah. Pasti ia mati kehabisan darah, atau minimal menanggung rasa sakit akibat luka itu.” Pikirannya mulai merayap kemana-mana.

“Tetapi... setahuku luka di tangan itu tidak mematikan. Andaikata ia mati kehabisan darah, tentu tidak akan secepat itu. ada kemungkinan ia mati dengan serangan bersama sehingga darah cepat habis dari semua luka-lukanya” Pembawa Kapak ini pikirannya logis juga. hmm, seandainya korban memang mati karena sayatan di tangan, bukankah tangan tidak mengandung syaraf-syaraf penting, kecuali si Korban ini punya otak di tangannya.

Pikiran Penggada begini jalannya: “Paha itu organ vital, memang. Gadaku ini meninggalkan bekas yang jika ia masih hidup, sakitnya luar biasa. Tulangnya kupastikan hancur menjadi serpihan-serpihan. Bahkan ia jatuh ke tanah gara-gara gadaku itu. hrrrr....”

“hanya saja, aku sendiri sering melukai pahaku dalam perkelahian. Tetap aku tidak mati. Tak jarang aku hanya pincang, meski tulangku kerap-kali patah dan butuh bertahun-tahun untuk sembuh. Aku yakin sekali, sepertinya memang bukan luka dari gadaku itu yang membunuhnya, tetapi semua luka-lukanya....”

Lain lagi dengan Pengguna Pedang. “Ususnya memang tidak sampai terburai keluar. Tetapi lukanya itu lebar sekali. ia harusnya tewas pada pedangku. Tetapi, aku yang berulangkali ditikam oleh musuh-musuhku tepat di lambung ini, tidak pernah mati. Aneh juga kalau dia mati karena perutnya sobek. Jangan-jangan, luka-lukanya itu memang tidak seberapa parah, tetapi ia hanya jantungan atau lainnya....”

Pengguna Pisau berpikir keras sekali, “Kalau memang sayatan di punggung itu tidak membunuhnya, sangat luar biasa! Pisauku ini dibuat dari Damaskus. Bahannya pun mampu membelah sutera tanpa merusaknya. Namun, lukanya memang tidak dalam... ah, apa gerangan yang membunuhnya? Darah juga tidak seberapa banyak mengalir, meski lukanya memanjang dari bahu hingga tulang ekornya....”

Dalam benak Pelempar Batu yang bekerja sebagai pemburu, ia yakin bahwa ia yang membunuhnya. “Batu yang kulempar tadi lurus menuju keningnya. Apakah ia tak akan mati dengan itu? luarbiasanya kalau ia tak mati-mati juga. tetapi memang, kepalanya itu samasekali tak berdarah, hanya benjol dan biru. Ada yang harus kupastikan. Sepertinya, mustahil juga seseorang mati hanya karena lemparan di kepala hingga benjol. Terlalu mudah untuk mati bagi seorang manusia...”

Pikiran mereka berempat seperti diganggu kutu yang luarbiasa gatalnya, tetapi tak bisa digaruk sebab tak punya tangan. Rasanya seperti kutu itu menghabisi kepalamu hingga bentol-bentol dan gatalnya luarbiasa. Mau digaruk, tak punya tangan, tak digaruk, rasanya mau disiram saja dengan api kepala ini.

Atau rasanya seperti ada jamur kecil-kecil seukuran jempol yang tumbuh, dan akarnya menembus sampai tengkorak. Rasanya gatal dan kau tidak bisa mencabutnya, sebab itu tumbuh permanen di kepalamu. Maka keempat orang itu berpikiran sesuatu.

Jika memang luka semua senjata bukan sebab kematian mayat yang malang itu, maka pastilah luka keempatnya sekaligus yang membunuh mayat itu. Tidak salah. Tak ada satu senjata tunggal pun yang menjadi sebab kematian. Ya; luka-luka kolektif si Korban itulah yang akhirnya menghabiskan darah, ditambah rasa sakit yang serentak muncul dari seluruh tubuh, itulah sebab kematiannya!

“Begitu, ya” Pikiran mereka akhirnya menyimpulkan sesuatu.

Lalu seperti dirasuki Iblis yang sama, mereka punya sebuah rencana untuk menentukan pembunuhnya. Agar hanya satu yang menjadi pembunuh mutlak mayat yang malang itu. bunuh keempat pengguna senjata yang lain!

Mereka, masing-masing, lalu menyusun rencana penyergapan. Rencananya adalah, tepat di subuh hari. Ketika semuanya berkumpul, ia akan bunuh ketiga temannya (ini dipikirkan secara serentak, dan semuanya berpikiran sama). Pukul dengan kapak. Hantam dengan gada. Belah dengan pedang. Tikam dengan pisau. Lempar dengan batu tajam.

****
Tepat subuh hari, ketika semuanya sepakat bertemu lagi di tempat kejadian pembunuhan, semuanya mulai mempresentasikan hasil renungannya. “Ia mati karena kapakku!”

“Ia mati karena gadaku!”

“Ia mati karena pedangku!”

“Ia mati karena pisauku!”

“Ia mati kena lemparanku!”

Mati. Semuanya tak sepakat. Tepat seperti perkiraan mereka. Dan tepat pada jadwal yang dipikirkan oleh masing-masing pikiran, semua menikam temannya, dan bertepatan dengan yang lainnya. Luka mereka, entah kenapa, karena memang terencana tapi bukan oleh mereka, sangat mematikan; tepat di jantung dan kepala.

“Kita punya rencana yang sama....” gumam mereka lirih sebelum mati. Keempatnya bergeletakan di jalan. Lalu di pondok, si mayat, mulai bergerak-gerak. Ternyata darahnya memang habis. Tetapi, luka-lukanya tak cukup parah. Pondok yang cukup terlindung membuat kesadarannya kembali; ia hanya pingsan. Ditambah selubung kain membuat badannya tetap hangat. Ia bangun lagi. Terduduk di lantai, dan mulai menata pikirannya kembali.

Ia mulai dapat bangkit. Berdiri. Melihat sekeliling. Menuju pintu. Berpikir ia pasti dibawa ke tempat para pengeroyok yang berpikir telah membunuhnya. Matanya mulai terang. Tangannya yang tak terluka parah mulai dapat digerakkan. Mencari air minum.


“Hari yang melelahkan....” Pikirnya