Jam

Senin, 07 April 2014



    
    
    
    
    
Pengantar
“seseorang bisa bebas tanpa kebesaran,
Tapi tidak seorangpun bisa besar tanpa kebebasan”
            Sesuai amanat dan semangat Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu dan alat komunikasi penting masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keharusan bagi kita untuk mempelajari dan menguasai keterampilan berbahasa dan ber sastra Indonesia. Belajar berbahasa berarti belajar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Belajar bersastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.Pada prosesnya, pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia akan diarahkan pada penguasaan keterampilan berbahasa (men dengarkan, berbicara, membaca, dan menulis) dan keterampilan mengapresiasi dan mengekspresikan berbagai bentuk karya sastra khususnya karya sastra yang ada di Indonesia. Kembangkanlah daya wawasan dan daya imajinasi Anda untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia. Oleh karena itu, penulis menyajikan berbagai ringkasan dan ulasan dari karya sastra yang ada di Indonesia. Semoga ringkasan dan ulasan ini dapat bermanfaat bagi anda semua.
            Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam ringkasan dan ulasan ini ada yang tidak sesuai dengan cerita aslinya, karena penulis menyajikan dengan redaksi penulis sendiri. Penulis  menyadari bahwa ringkasan dan ulasan ini masih perlu ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan dimasa mendatang.

Tulungagung, 21 Desember 2013

                                                                                                                                   Penulis
Daftar Isi
Halaman sampul ............................................................................................. 1
Pengantar ........................................................................................................ 2
Daftar isi .......................................................................................................... 3
RINGKASAN NOVEL
Kubah .............................................................................................................. 4
(Ahmat Tohari)
Merahnya Merah ............................................................................................ 10
(Iwan Simatupang)
Ronggeng Dukuh Paruk ................................................................................... 19
(Ahmat Tohari)
Tak ada Esok .................................................................................................... 27
(Mochtar Lubis)
Pertemuan Dua Hati ........................................................................................ 37
(NH.Dini)
Hafalan Sholat Delisa ....................................................................................... 43
(Tereliye)
5 Cm ................................................................................................................. 46
(Donny Dhirgantara)
ULASAN CERPEN
Jiwa-jiwa Pemberontak .................................................................................... 50
(Kahlil Gibran)     
Leak di Bukit Pecatu ......................................................................................... 54
(I Gusti Putu Bawa Samar)
Gadis Halusinasi ............................................................................................... 57
(FLP Pekalongan)
ULASAN PUISI
Puisi-puisi dari Penjara .................................................................................... 59
(S. Anantaguna)
Ayat-ayat Api ................................................................................................... 62
(Sapardi Djoko Damono)
SINOPSIS NASKAH DRAMA
Bajingan Negeriku ............................................................................................ 68
(Maulana Alfiansyah)

KUBAH
Oleh : Ahmat Tohari
Pengarang                : Ahmat Tohari
Bentuk                       : Novel
Penerbit                    : PT Dunia Pustaka Jaya
Tahun terbit             : 1980
Tebal                          : 184 halaman
Tokoh Utama           : Karman
Tokoh Pembantu     :  Marni
                                       Haji Bakir
                                       Pak Mantri
                                       Bu Mantri
                                       Jabir
                                       Bu Gono
                                       Tini
                                       Paman Hasyim
                                       Komandan Kodim
                                       Rudio
                                       Triman
                                       Kastagetek
                                       Rifah
                                       Suti
Latar                          : Desa Pegaten pada revolusi tahun 1965 dan sekitarnya.
Alur                            : Alur yang digunakan adalah alur sorot balik.


Ringkasan.
       karman amat canggung dan gamang. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Karman mengerti harga dirinya tidak semahal kertas yang dibawanya, dan tidak semahal ruangan dimana kini dia berada.
         Dia merasa asing. Walaupun Karman sudah bebas, dia merasa ada pemisah antara dirinya dengan alam sekitarnya. Dia yakin itu, karena dia tahu karena dirinya adalah bekas tahanan politik. Nyata nya sejak dua belas tahun lalu Karman telah kehilangan diri dan pribadinya. Dia selalu merasa rendah diri.
         Dibawah pohon beringin ditengah alun-alun, Karman istirahat. Dia membayangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika Karman masih sebagai tahanan. Parta menceraikan istrinya dan kawin dengan Marni, istri Karman.
         Pada waktu itu Marni meminta keikhlasan dan pengertian Karman untuk diizinkan kawin lagi dengan parta. Karman hanya bisa termenung dan membagi kesusahannya dengan teman-teman sebarak.
         Tubuh dan jiwa Karman semakin layu. Dia tergeletak sakit. Ada seorang perwira, Kapten Somad, yang berusaha mengobati penyakit Karman. Usaha Kapten Somad itu pada akhirnya membawa hasil. Karman sembuh.
         Karman hendak melanjutkan perjalanannya ke rumah sepupunya. Rumah dipinggir kali itu telah berubah menjadi gedung yang bagus. Karman mendekati jendela rumah itu dan melihat Rudio, ananknya, tengah asyik membaca. Pertemuan antara Karman dengan Rudio dan Bu Gono sangatlah mengharukan. Bu Gono, sepupunya, meminta Karman untuk tinggal bersamanya. Bu Gono menjelaskan bahwa Karman sudah tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Rumah, tanah, istri sudah hilang, dan anaknya yang terkecil sudah meninggal.
         Geger Oktober 1965 telah dilupakan orang. Juga di Pegaten, tempat Marni tinggal bersama Parta dan anaknya, Tini. Tini adalah kembang desa Pegaten dan telah menjalin hubungan dengan Jabir, cucu Haji Bakir.
         Marni mengetahui bahwa suatu saat Karman akan datang. Marni selalu merasa bahwa suaminya, Karman, selalu menuntut kesetiaannya. Apalagi Tini anaknya, selalu menanyakan tentang ayah kandungnya itu.
         Karman seorang anak mantri pasar. Dia lahir di Pegaten. Ayahnya merasa bahwa dirinya adalah seorang priyayi yang tidak pantas makan ubi rebus dan tidak pantas pula untuk mengerjakan sawah. Pandangan ayah Karman demikian itu membuat keluarganya bertambah menderita di masa pendudukan Jepang. Dia menukarkan sawahnya itu dengan padi milik Haji Bakir. Oleh karena desakan ekonomi, masa kecil Karman dihabiskan dengan membantu pekerjaan dirumah Haji Bakir. Sebagai upahnya, semua biaya hidup Karman ditanggung oleh Haji Bakir.
         Tahun 1948 terjadi makar di Madiun tetapi berhasil digagalkan. Salah seorang dari kader partai ada yang melarikan diri ke Pegaten. Dia dikenal dengan nama Bung Margo. Di Pegaten dia dan teman-temannya berusaha untuk menambah anggota baru. Salah satu yang diincar untuk dijadikan anggota adalah Karman. Dengan berbagai cara, akhirnya Karman berhasil dijebak dan menjadi anggota partai yang berkedudukan penting.
         Bang Margo selalu berusaha menciptakan permusuhan antara Karman dengan Haji Bakir. Dia berusaha menjauhkan kehidupan Karman dari Haji Bakir. Semakin hari rasa curiga dan permusuhan dihati Karman terhadap Haji Bakir semakin bertambah. Apalagi sejak cintanya kepada Rifah ditolak oleh Haji Bakir. Perasaan curiga, benci, dan permusuhan semakin mengembang dihati Karman karena memang Karman sendirilah yang mengembangkannya.
         Suatu saat Karman merasa rindu dengan Rifah, anak Haji Bakir, yang sudah menjanda itu. Karman berada pada kebimbangan, hendak masuk kerumah Haji Bakir tetapi dia dibencinya. Kalau tidak, dia merasa rindu dengan janda pujaan hatinya itu. Akhirnya, dia berjalan berjingkat menuju kamar pujaan hatinya itu. Dia sudah mencapai jendela kamar Rifah yang berlubang itu. Melalui jendela itu Karman memasukkan selembar surat.
         Rifah memang membaca surat itu. Sebagai jawabannya Rifah meminta Karman untuk bertemu secara baik-baik. Karman disuruhnya menemui ayahnya besok pagi. Rifah juga akan berjanji akan ikut menemuinya.
         Rifah yang janda itu dan masih hamil, sama sekali tidak mengharapkan untuk segera menikah lagi. Tetapi Karman tidak berhasil mengatasi keraguannya. Dia masih sangat merindukan Rifah. Sampai sekarang, dia belum berbaik kembali dengan Haji Bakir.
         Melihat sikap Karman yang ingin mencoba untuk mendekati Rifah, Bung Margo merasa mendapatkan kesempatan. Disuruhnya Karman untuk melamar Rifah lagi. Bung Margo yang memang kader partai itu, sudah bisa meramalkan apa jawaban dari Haji Bakir. Dengan penolakan lamaran itu, semakin besarlah kebencian Karman terhadap Haji Bakir. Sekarang kebencian Karman bukan hanya kepada Haji Bakir saja. Tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya.
          Desa Pegaten merupakan desa terpencil. Desa ini debatasi rawa-rawa dan hutan jati yang lebat. De desa ini, pada saat itu memiliki tiga kekuatan yang masing-masing memiliki lasykar. Salah satu kekuatan memang sedang surut yaitu kekuatan Ahmad Juhdi. Tetapi, kemunduran kekuatan ini sering dimanfaatkan oleh kekuatan lainnya untuk mengacaukan keamanan desa. Rumah Haji Bakir dua kali dirampok. Haji Bakir ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan perampok. Kelak orang tahu bahwa pengusulan penahanan itu diajukan oleh seorang pegawai kecamatan yaitu Karman.
         Karman lebih sering terlihat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya. Disamping itu, dia secara Cuma-Cuma mendapatkan buku-buku mengenai doktrin-doktrin Marxis. Pandangan-pandangannya serta pikiran-pikirannya semakin mantap di jurang Marxis yang atheis itu.
                     Pemuda Karman telah tahu bahwa dunia wanita bukan hanya Rifah saja. Marni, gadis kebanyakan, telah mendapatkan kedudukan dihati Karman. Perkawinanpun segera dilangsungkan. Tidak berapa lama Rudio, anak pertama pasangan Karman-Marni lahir. Hari-hari selanjunya kehidupan keluarda muda itu semakin mantap. Hanya ada satu yang tidak berkesesuaian diantara mereka, yaitu Marni merasa tidak bisa meninggalkan ibadahnya, sementara Karman secara terang-terangan mengaku seorang atheis. Karena satu hal itulah Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh.
            Karman sudah menduga bahwa suatu saat nanti Marni akan menanyakan tentang ibadahnya. Karman memang tidak pernah melarang Marni untuk beribadah. Memang, seorang seperti Karman mudah menjadi mandul dihadapan keagungan dan kewibawaan istrinya. Karena kelemahan ini dalam suatu kesempatan Bung Margo menyindirnya dengan pedas yang membuat Karman marah besar.
            Kemiskinan dan kebobrokan moral melanda diseluruh negeri ini. inflasi dan kemarau panjang semakin menambah beban berat rakyat jelata. Dalam keadaan yang demikian sulit itu, orang Pegaten sering meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Panasnya politik saat itu barang kali lebih berpuluh kali lipat daripada panasnya matahari musim kemarau saat itu yang memanggang desa Pegaten.
            Pada beberapa kesempatan Bung Margo menganjurkan orang untuk makan daging tikus. Dia menyebutkan bermacam-macam gizi yang terkandung didalm tikus. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menyehatkan warga Pegaten dengan makanan tikus. Tetapi lebih dari itu, dia menghendaki nilai-nilai moral yang telah tertanam itu menjadi goyah. Bung Margo hanya ingin mengajari supaya orang Pegaten menghalalkan makanan yang haram itu.
            Anak ketiga dari pasangan Karman-Marni lahir. Tono namanya. Baru tiga bulan Tono lahir, peristiwa 1 Oktober 1965 tersebar dimana-mana, juga di Pegaten. Sejak saat itu Karman menjadi sangat pendiam. Dia mudah tersinggung dan tidak pernah menggendong Tono. Dia tidak pernah tersenyum. Pohing yang mengetuk pintu itu bisa saja membuatnya pingsan ketakutan.
            Memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bung Margo dan orang lainnya sudah dipaksa masuk liang kubur. Hanya yang membuat Marni bersyukur adalah perubahan suaminya. Karman sholat, sesuatu yang telah lama diidam-idamkannya.
            Setiap detak jantung Karman adalah kegelisahan. Kalau malam tiba Karman bersembunyi-sembunyi di masjid atau dirumah ibunya. Pada suatu saat Karman memerlukan berpamitan kepada istrinya. Dia pasrahkan anak-anaknya kepada istrinya. Tangis sedu sedan menghiasi rumah itu.
            Karman melarikan diri dan meninggalkan rumah. Dia meninggalkan anak. Dia meninggalkan istri. Dia meninggalkan desa tepat kelahirannya. Polisi dan tentara melakukan engejaran terahadapnya. Karman menyembunyikan dirinya di semak belukar. Dengan demikian sekarang Karman menjadi seorang buronan.
            Karman selalu merenungkan nasibnya. Dia mengetahui nasib apa yang akan menimpanya kelak jika usaha pelariannya gagal. Apa yang sedang berlaku atas diri Karman adalah kehendak sejarah, yaitu sejarah politik. Dalam hal ini Karman telah salah perhitungan. Dengan masuk barisan Bung Margo, dia berharap sawahnya yang satu setengah hektar akan kembali lagi. Dia juga ingin memperoleh cintanya Rifah. Sama sekali dia tidak membayangkan peristiwa berdarah dibenaknya. Dia juga tidak meramalkan bahwa dengan masuk barisan Bung Margo akan menyeretnya kejurang kehancuran. Kehancuran masa depannya sendiri. hancurnya masa depan keluarganya. Sama sekali dia tidak menduga bahwa dengan masuk barisa Bung Margo akan membawanya kepada penderitaan.
            Tini bersama Jabir baru saja menjemput ayahnya dari kota. Di perjalanan Tini bersama Jabir membicarakan tentang kepulangan Karman, ayah Tini. Mereka membicarakan rumitnya permasalahan yang dialami oleh ibu Tini. Ibu Tini sudah kawin lagi dengan Parta. Sekarang Karman kembali stelah dua belas tahun berada dalam pengasingan. Mereka juga tidak mengharapkan kejadian tersebut berulang pada pasangan Jabir-Tini kelak, jika mereka sudah menikah.
            Di rumah orang tuanya (Bu Mantri), Karman banyak dikunjungi oleh para tetangga dan sanak familinya. Tiba-tiba semua diam, semua tegang, semua berbicara kepada hatinya masing-masing. Marni, istri yang lama dirindukannya itu hadir. Tetapi tak lama kemudian Marni pingsan. Haji Bakirpun tiba berdua. Orang yang tak disangka-sangka hadir adalah Parta. Sehingga kedatangannya menambah kebisuan di rumah Bu Mantri. Semua tak tahu apa yang bakal terjadi.
            Sekarang, Karman sudah berbaur lagi dengan warga Pegaten. Suatu hari Haji Bakir datang melamar. Karman, Paman Hasyim, Marni, dan Tini berkumpul di rumah Bu Mantri. Pada saat Haji Bakir menyampaikan lamarannya, Haji Bakir juga memberikan sawahnya yang satu setengah hektar kepada Tini. Memang, sawah tersebut dahulu adalah milik kakek Tini.
            Pada suatu saat, masjid Haji Bakir yang telah tua itu diperbaiki kembali. Karman mendapatkan kesempatan untuk membangun kubah masjid tersebut. Dia tidak mengambil upah sedikitpun dari pekerjaan itu. Dia hanya ingin mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang telah sirna itu. Karman ingin mendapatkan kembaki martabatnya sebagai manusia. Dengan kubah itu, Karman merasa memperoleh apa yang diharapkannya itu. Selain itu karman ingin merintis jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
*****
















MERAHNYA MERAH
Oleh : Iwan Simatupang

Pengarang                : Iwan Simatupang
Bentuk                       : Novel
Tahun terbit             : 1990
Penerbit                    : CV Haji Masagung Jakarta
Tebal                          : 124
Tokoh utama           : Tokoh Kita
                                      Maria
                                      Fifi
Tokoh pembantu     : Pak Centeng
                                      Tukang Becak
                                      Seorang Tua
                                      Perwira
                                      Maha Guru
                                      Polisi
                                      Petugas Kesehatan
                                      Bekas Ajudan
                                      Haji Tua
                                      Gelandangan
                                      Inspektur Polisi
                                      Pangdam
                                      Dokter
Latar                          : perempatan jalan dekat lapangan, kampung gelandangan
                                     Dengan gubuk-gubuk kecil, lapangan, alun-alun, sanatorium,
                                     Semak belukar, sungai, poliklinik, malam yang terang bulan,
                                     Selokan kecil, dan jalan-jalan berumput.
Alur cerita                 : maju melompat-lompat disertai sorot balik



Ringkasan.
            Sebelum revolusi, dia calon rahib.selama revolusi, dia komandan kompi. Dan di akhir revolusi, dia seorang algojo berdarah dingin. Sesudah revolusi dia masuk rumah sakit jiwa. Setelah dinyatakan sehat, tokoh Kita jadi gelandangan yang bukan sembarangan, lain dari yang lain, berhasil merasa bahagia, walaupun tragiknya adalah tragik dari sebelum tragik, “Tragik Rangkap Dua”, katanya. Dia tak pernah minta, apalagi minta-minta. Rasa harga dirinya masih cukup tebal.
            Pada suatu siang hari dia merasakan sesuatu yang tidak pernak dirasakan sebelumnya, yaitu kepala pusing karena perut kosong. Dia tak kuat jalan, ditambah lagi borok di pergelangan kakinya makin lebar dan nyeri rasanya. Borok itu dulunya hanyalah karena goresan dahan belukar ketika dia mengantarkan Fifi ke perkampungan gelandangan.
             Fifi adalah gadis usia 14 tahun yang ditemukan tokoh Kita di sebuah perempatan jalan. Ketika itu dia sedang menangis. Dan ketika ditanya sebabnya, karena dia tak punya orang tua lagi sehingga dia kini tidak punya tempat tinggal tetap. Katanya, orang tuanya tiada sejak kampungnya dilanda bencana. Lalu, tokoh Kita bermaksud menolong Fifi, dengan diajaknya ke kampung gelandangan, yaitu ke gubuk Maria.
            Maria adalah seorang wanita bertubuh besar, montok, dan hitam. Rambutnya keriting kecil-kecil, seperti negro. Dia dulu calon jururawat yang gagal, bekas pembantu rumah tangga pada pastoran yang diperkosa dan akhirnya jadi gelandangan. Maria sangt menaruh hati pada tokoh Kita. Untuk itu dia mau menerima Fifi untuk tinggal di gubuknya, walaupun sebenarnya dia agak cemburu. Dan tidak hanya itu, bahkan segala apa yang dikehendaki oleh tokoh Kita terhadap dirinya dia selalu menurutinya.
            Maria dan tokoh Kita mempersilakan Fifi masuk ke gubuk Maria. Setelah itu tokoh Kita hendak permisi pergi. Tapi sebelum pergi Maria memberinya obat gosok dan uang untuk pengobatan boroknya ke dokter. Sementara itu didalam gubuk, Fifi sudah terlena dalam tidurnya.
            Pada tengah malam harinya, Fifi terbangun. Dia ingat akan perjalanannya dengan tokoh Kita. Dia merasakan sesuatu yang asing jika melihat tokoh Kita. Rasa mesra, rasa kasih yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
            Keesokan harinya, tokoh Kita tidak berobat ke dokter seperti pesan Maria kemarin. Menurutnya berobat ke dokter berarti memberontak kepada statusnya yang sebagai seorang gelandangan. Lagi pula, dia belum tentu menyukainya. Dia masih ingin mencari rumusan arti gelandangan ini.  dia melihat semacam ada perpanjangan dari keadaannya dulu, ketika revolusi bersenjata. Waktu itu dialah yang menentukan sejarah perputaran tata surya ini bagi dirinya dan manusia disekelilingnya, yaitu anak buahnya dan pasukan-pasukan musuh.
             Setelah revolusi selesai, dia pernah dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa oleh komandannya. Ini desebabkan karena sifat dan sikap dari tokoh Kita yang berubah jadi aneh, tidak seperti pada masa revolusi dulu. Di rumah sakit ini, tokoh Kita bertemu dengan temannya yang juga sedang dirawat disitu. Dia bekas perwira tinggi juga pada permulaan revolusi. Disitulah masing-masing terharu mendengar riwayat masing-masing. Lalu mereka saling merangkul, tersedu-sedu, dan sejak itu mereka akrab sekali.
            Beberapa hari kemudian, kedua orang itu dinyatakan sembuh 100%, dan boleh pulang. Mereka berpisah. Bekas perwira tinggi segera menghilang kembali ke hutan-hutan belantara, sedangkan tokoh Kita dengan girang sekali dan bersiul-siul menuju jalan raya. Dan sejak itulah dia selalu berada di jalan-jalan raya atau ditempat yang ramai saja.
            Di sebuah sungai, tempat tokoh kita buang hajat besar, geger. Seorang mayat manusia terapung ikut arus air. Mayat itu tak punya kepala, tangan, dan kedua kakinya. Sebentar kemudian polisi dan petugas kesehatan kotapraja datang. Mayat itu kemudian dimasukkan ambulans dan dibawa ke rumah sakit. Ketika orang-orang sedang asyik memperbincangkan mayat itu. Tokoh Kita lewat.
             Di tengah perjalanan, seorang haji tua kerempeng melihat tokoh Kita. Mata haji itu seolah-olah melihat bahwa tokoh Kita adalah bukan seorang dari kelas gelandangan biasa. Dibalik tampangnya yang compang-camping itu tersembunyi sesuatu yang tak banyak berbeda dari apa yang disebut kecerdasan dan sekaligus keangkuhan. Yang lebih mengelitik pikiran haji tua itu adalah ditemukannya suatu kepribadian dalam diri laki-laki yang compang-camping dan tak terurus itu.
             Sejak melihat mayat terapung disungai itu pikirannya menjadi terganggu. Pada mayat itu dia melihat paling ringkas dari nasibnya sendiri sekarang ini, dan juga nasib dari sekian kaum gelandangan lainnya. Dia menjadi geram. Dia teringat masa kecilnya sewaktu dia di sekolah hari minggunya, tentang asal usul Adam dan Siti Hawa. Geramnya makin memuncak dan akhirnya mencapai puncaknya. Kakinya dibanting keras sekali diatas tegel-tegel retak kaki lima. Beberapa keping borok kering di kakinya beterbangan, dan dari pusat boroknya keluar darah.
            Waktu itu petugas kesehatan tentara lewat dan melihat borok tokoh Kita. Dia berhenti dan menyapa tokoh Kita. Kemudian dia memaksanya untuk ikut menumpang becak ke poliklinik tentara terdekat. Disana tokoh Kita disuntik, diberi obat, dan boroknya dibalut rapi sekali.
            Setelah agak lama diperhatikannya, ternyata laki-laki yang membawanya ke poliklinik adalah komandan batalyon yang dulu. Lalu tokoh kita menyapanya dan kemudian mereka mengobrol tentang masa lalu masing-masing. Setelah itu, tokoh Kita hendak permisi meninggalkan poliklinik. Perawat yang bekas ajudannya memberinya uang saku dua ratus rupiah.
            Sejak itu, tokoh Kita ingin boroknya segera sembuh. Sejak saat itu pula, dia merasa bahagia sekali karena masih dapat bertemu dengan kawan seperjuangannya dulu.
             Dia ingin, Maria ikut merasakan kebahagiaannya pada suatu malam. Sebab Marialah sahabatnya, yang telah banyak menolongnya dan menghiburnya selama ini. untuk itu keesokan harinya, dia bergegas pergi ke perkampungan gelandangan. Tapi setelah sampai disana ternyata Maria tidak ada. Kata tetangganya Maria sudah pergi dengan laki-laki gagah dan bermobil. Mendengar keterangan itu tokoh Kita segera sadar bahwa Maria lagi dinas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
             Sementara itu, dibelukar perkampungan gubuk-gubuk kecil itu terlihat Fifi melepaskan diri dari pelukan seorang laki-laki. Kemudia lari menuju tokoh Kita dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan tokoh kita. Tapi sebentar kemudian tokoh Kita menyuruh Fifi untuk kembali pada laki-laki yang masih menunggu dibelukar itu. Dia tidak mau.  Fifi pada malam ini hanya mau dengan tokoh Kita saja. Dari kejauhan tampak laki-laki itu sedang kecewa, lalu dibunyikanlah klakson motornya keras-keras. Dengan ngebut dia meninggalkan Fifi dan tokoh Kita.
            Dalam pelukan tokoh Kita Fifi merasakan suatu perasaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebab sejak dulu perhatiannya dicurahkan untuk revolusi. Dia ingat ketika pertama kali bertemu dengan Maria, ketika itu pagi buta Maria sedang sembahyang didepan katedral. Sejak itu, tokoh kita bersahabat akrab dengan Maria. Tapi dia tidak mencintai Maria.
            Beberapa saat kemudian, orang-orang di perkampungan itu ramai-ramai menyembut kedatangan tokoh Kita yang sudah mereka anggap sebagai bapak di perkampungan itu. Diantara mereka ada yang mengadukan beberapa masalah yang telah terjadi disaat tokoh Kita tidak muncul-muncul. Antara lain mengenai kedatangan laki-laki berengsek bersepeda motor yang kadang-kadang mengajak Fifi. Laki-laki itu dirasa sangat mengganggu mereka. Sepeda motornya yang brengsek itu sangat membisingkan telinga penduduk di perkampungan itu. Lalu tokoh Kita memberikan pengarahan kepada penduduk perkampungan itu. Setelah itu mereka disuruh pulang.
            Setelah orang-orang pulang, Fifi memperhatikan seluruh anggota tubuh tokoh Kita. Fifi melihat borok dipergelangan tokoh Kita sudah mulai membaik. Lalu mereka berdua masuk kedalam gubuk Maria. Mereka sama-sama segan. Hati mereka diliputi perasaan yang aneh-aneh. Apalagi lewat tengah malam itu Maria belum pulang-pulang juga. Lalu tokoh Kita mengajak Fifi jalan-jalan. Malam itu bulan redup., dan tak lama kemudian tibalah mereka disebuah lapangan besar yang jauh dari keramaian, tidak ada desah manusia lain, kecuali mereka berdua. Mereka mencari tempat yang sesuai dengan hatinya. Mereka berjanji akan pulang setalah fajar tiba.
            Mereka bercanda ria. Fifi tertawa girang, tokoh Kita memegang tangan Fifi di pinggangnya. Kemudian Fifi lari-lari kecil, tokoh Kita mengejarnya dan menangkapnya. Dia jatuh dalam pelukan tokoh Kita, merekapun jatuh. Fifi meraih tubuh disampingnya dengan erat dan rapat. Tokoh Kita berusaha menghindar tapi tak berdaya. Tangan Fifi telah membelit dilehernya. Mulutnya yang mungil telah mendekap bibir tokoh kita. Diatas reruntuhan itu, pelan-pelan tapi pasti, datang nafsu birahinya, nafsu kelamin laki-lakinya.
            Sementara itu, dibalik semak-semak belukar, dua buah mata, tajam. Hitam pekat, mempersaksikan semua adegan itu dari a sampai z. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menjadi satu garis lurus dari rasa pedih, amat pedih.
            Keesokan harinya, tokoh Kita diam saja di gubuk Maria. Tanpa banyak bicara Maria membantu membalut dan mengobati borok tokoh Kita. Maria menyuguhkan kue yang baru sajadibelinya. Tokoh Kita mengambil satu, dan pelan-pelan dimakannya. Sambil makan, Maria bercerita bahwa dia sudah mengetahui tentang hubungan tokoh Kita dengan Fifi di lapangan malam itu. Dia merasa heran mengapa sejak itu tokoh Kita selalu menghindar darinya. Terlebih-lebih lagi Fifi. Dia tidak pernah muncul ke gubuk Maria. Mendengar cerita itu, tokoh Kita kelihatannya kaget. Bahkan, dia baru sadar kalau Fifi telah tiada entah kemana dan apa sebabnya. Tokoh Kita bangkit dan seraya hendak pergi mencarinya, tapi Maria melarangnya. Dia mengatakan bahwa pak Centeng bersama penduduk kampung itu telah mencarinya dan hasilnya nihil.
             Selain itu Maria juga mengatakan, bahwa Fifi sangat mencintai tokoh Kita. Mendengar itu, tokoh Kita diam saja dan benar-benar tak berkutip lagi. Dia merasa telah di-KO oleh Maria. Lalu diceritakannya pula bahwa Fifi sebenarnya menginginkan agar tokoh Kita segera mengawininya. Untuk mencapai itu, Fifi akan mencari uang sebanyak-banyaknya agar dia bisa beli rumah dan segala perabotannya untuk persiapan setelah kawin nanti. Selain itu dia juga ingin punya modal untuk berdagang nantinya.
            Selesai bercerita Maria menangis. Dia teringat akan cinta Fifi yang begitu dalam terhadap orang yang dicintainya pula.
            Mendengar uraian panjang lebar dari Maria itu, tokoh Kita hanya diam saja. Namun dari raut mukanya kelihatan bahwa seluruh cerita itu cocok dengan dugaan ketika dia bertemu Fifi pertama kali. Fifi ingin memberontak kepada statusnya yang sebagai seorang gelandangan. Dia ingin memasuki kelas kemasyarakatan yang lebih tinggi. Hal itu menurut tokoh Kita merupakan suatu kelebihan Fifi dari gelandangan lainnya.
            Setelah lima hari setelah kejadian malam itu, Fifi belum juga muncul. Berkali-kali pencarian sudah dilakukan tetapi hasilnya selalu nihil. Menurut pak Centeng, Fifi tidak akan kembali lagi, dan mungkin telah menetap di kota lain.
            Dalam usahanya mencari Fifi, pada suatu hari tokoh Kita pergi ke poliklinik tempat boroknya diperiksa beberapa hari yang lalu. Ketika sampai di rumah sakit, mantri jururawat yang sedang jaga segera mengenalnya. Kemudian tokoh Kita segera diantar menemui bekas ajudannya.
            Tokoh Kita dan bekas ajudan itu tampak asyik sekali ngobrol. Tak lupa pula diceritakan perihal hilangnya Fifi beberapa hari yang lalu. Sekaligus diceritakan pula mengenai ciri-ciri Fifi. Dan setelah itu, tokoh Kita dengan amat sangat memohon bantuan bekas ajudannya itu untuk mencari Fifi.
             Telah sebulan Fifi pergi, dia tak juga ada kabar berita. Dan anehnya, selama kepergian Fifi itu tokoh Kita sering bertemu dengan wanita yang mirip dengan tokoh Fifi. Sehingga dia merasa kesal dan jengkel kepada wanita-wanita yang mirip Fifi itu. Dia merasa dipermainkan. Untuk itu, pada suatu hari dia pernah membentak beberapa dari wanita-wanita itu.
            Sementara itu, bekas ajudan tokoh Kita juga sudah mulai merasa kesal sebab beberapa divisi tentara telah dikerahkan, tapi belum juga menemukan Fifi. Sebagai upaya selanjutnya, dikerahkan pasukan untuk menangkap para gelandangan itu, kemudian diangkut truk dan dibawa keliling kota. Anehnya, wanita gelandangan masa bodoh saja ketika mereka ditangkap. Mereka kelihatannya sudah pasrah dengan nasibnya.
             Setelah diberangkatkan semua, ternyata Fifi tidak diketemukan. Melihat kenyataan itu percuma saja, dan ini sesuai dengan dugaannya. Dia menduga bahwa pencarian yang dilakukan akan sia-sia saja. Dia ingat masa lalunya ketika para pasukannya tiba-tiba ditugaskan maju ke garis depan dan kemudian mereka tak kembali lagi. Saat itu dia melihat pasukannya tak pulang. Tiba-tiba dia merasa kelu di ulu hatinya, kelu yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Kelu itu semakin lama semakin terasa, tapi itu malah dianggapnya sebagai penyebab dia dan ajudannya selalu pulang selamat sampai revolusi usai.
            Mereka derdua selalu yakin bahwa mereka berdua tidak akan tewas dan selalu selamat tanpa terdampar di taman pahlawah. Oleh karena itu, sampai sekarang ajudan itu tetap kagum terhadap sikap kepahlawanan bekas komandannya itu (tokoh Kita).
            Kekaguman merupakan suatu proses cemburu borjuis kecil ditambah adanya revolusi yang berlarut-larut sehingga menghasilkan sesuatu kesetiaan yang abadi. Namun kemudian ajudan itu merasa cemas. Tiba-tiba dia berpikir seandainya dia nanti ditinggal mati bekas komandannya itu. Dia mencoba menghitung dengan jari-jarinya, dengan huruf-huruf sebesar gajah, merah-merah, tapi tetap saja tidak tahu berapa usia bekas komandannya itu sekarang.
            Ketika sedang asyik menghitung usia bekas komandannya itu, tiba-tiba bekas komandannya menanyakan jam saat itu. Dia jawab tidak tahu. Lalu tokoh Kita pergi meninggalkan bekas ajudannya. Dia pergi menuju ke arah lapangan.
            Di lapangan yang besar itu dia berlari kesana kemari. Setelah agak lama berlari, tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan melintas didepannya. Lalu dia berhenti, dan mengusap-usap matanya. Dia melihat suatu adegan wanita berlari-lari dan tertawa kegirangan. Setelah diperhatikan dengan seksama, suara itu persis dengan suara Fifi.  Tetapi tokoh tetap berdiri terpaku ditempatnya. Dia lihat dengan remang-remang wanita itu sekali-sekali merebahkan dirinya dan merintih, tapi rintih asyik, rintih birahi.
            Melihat semua adegan itu tokoh Kita tidak kuat lagi. Dia langsung saja menerkamnya. Pergumulan terjadi, dan wanita itu berusaha melepaskan diri dan kemudian berlari. Tokoh kita mengejarnya, dan trjadilah pergumulan lagi. Wanita itu roboh dalam sergapan tokoh Kita. Tokoh Kita menghimpitnya sampai dia tidak berdaya. Tapi tokoh Kita kemudian terkejut  ketika memperhatikan wajah wanita yang tak berdaya itu dari jarak dekat. Sebab wanita itu ternyata bukan Fifi, melainkan Maria. Dengan spontan dia berteriak, “Maria !!”. mendengar namanya disebut, Maria dengan mengerahkan semua tenaganya menendang tokoh Kita sampai pingsan. Lalu ditinggalkannya tokoh Kita dengan hati cemas.
            Sejak peristiwa itu, tokoh kita pergi meninggalkan perkampungan gelandangan dan kemudian tak pernah datang kembali lagi. Melihat ketidak munculan tokoh Kita, Maria cenas. Dia menyuruh pak Centeng dan anak buahnya mencari tokoh Kita. Tapi hasilnya nihil, pak Centeng merasa remuk hatinya, karena kedua kalinya dia gagal. Yang pertama mencari Fifi dan yang kedua mencari tokoh Kita.
            Setelah peristiwa itu. Pak Centeng menaruh rasa benci kepada tokoh Kita dan kepada Maria. Sebab tokoh Kita lebih menarik perhatian Maria dari pada dia. Pak Centeng merasa kalah bersaing dengan tokoh Kita untuk menjadikan Maria menjadi gacoannya, walaupun pak Centeng telah mempunyai banyak gacoan yang lebih cantik dari Maria. Tapi pak Centeng justru lebih tertarik pada sifat khas wanita yang dimiliki Maria. Selain itu juga karena sifat Maria yang baik hati, jujur dan punya kecerdasan yang lumayan. Sehingga banyak laki-laki yang tertarik padanya.
            Memang Maria banyak dikagumi para lelaki, tapi diantara mereka itu hanya tokoh Kita yang bisa menaklukkan hati Maria. Ini membuat pak Centeng dan laki-laki lainnya merasa kecewa. Mereka semua ditolaknya. Sehingga pernah suatu hari, pak Centeng ingin menempuh jalan lain supaya bisa memiliki Maria. Namun gagal karena temannya (bang becak) selalu mengingatkan niat jelek itu.
            Pada suatu hari, pak Centeng pergi ke gubuk Maria. Tapi Maria tidak ada. Bahkan gubuknya tertutup rapat sekali. Kata tetangganya, dia pergi dengan berpakaian dinas. Dengan tertutupnya pintu yang sangat rapat itu, pak Centeng merasa heran karena tak biasanya Maria menutup pintu serapat itu. Pak Centeng semakin penasaran. Dia ingin membuka pintu itu dan kemudian masuk. Setelah pintu terbuka, pak Centeng melihat semua barang Maria masih lengkap disitu. Dia mencium bau minyak wangi khas Maria. Sehingga birahinya muncul, dan ingin sekali bertemu Maria. Kemudian dia lari menuju jalan raya, badai dalam dadanya meluap-luap, nafasnya terengah-engah berat, satu-satu. Malam larut tiba, semua kota sudah tertidur, tapi pak Centeng tetap saja berdiri di aspal. Pikirannya saat itu hanya tertuju pada Maria.
            Setelah satu bulan Maria tak kembali, seluruh penghuni perkampungan itu geger. Mereka telah kehilangan soko gurunya. Untuk itu sebagai wakil mereka, pak Centeng melaporkan perihal hilangnya Maria kepada polisi. Mulailah saat itu seluruh aparat kepolisian mengadakan pencarian. Persis sebulan pihak polisi mengadakan pencarian. Mereka hanya geleng-geleng kepala. Apalagi ditambah perihal hilangnya tokoh Kita dan Fifi yang sampai saat ini belum diketemukan juga. Untuk itu aparat kepolisian juga hanya bisa berharap mudah-mudahan mereka bertiga dalam keadaan baik-baik saja.
            Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba tokoh Kita muncul di perkampungan gubuk-gubuk kecilseorang diri. Mengetahui tokoh Kita muncul seorang diri, penghuni perkampungan itu jadi geger, mereka menanyakan perihal Maria dan Fifi. Tetapi dengan tenang tokoh Kita menjawab bahwa dia tidak punya sangkut paut apa-apa dengan kepergian Fifi dan Maria. Mendengar jawaban itu pak Centeng jadi marah. Marahnya bagai sapi jantan yang melihat kain merah. Mereka mendesak terus agar tokoh Kita menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya diantara mereka itu. Karena didesak terus makakemudian tokoh Kita bercerita juga perihal Fifi yang telah dibunuh Maria karena cemburu terhadap Fifi yang selalu dekat dengannya.
            Mendengar cerita itu, pak Centeng malah bertambah marah. Pak Centeng menghenus goloknya, tetapi untunglah karena dengan tiba-tiba muncul pangdak, pangdam, dan dokter dibelakang pak Centeng sambil mengacungkan pistol ke arah pak Centeng. Darah pak Centeng menjadi panas, campur jengkel karena tokoh Kita merebut jantung hatinya, yaitu Maria.untuk itu dengan cepatnya golok diayunkan ke leher tokoh Kita. Sehingga tokoh Kita jatuh tersungkur dan kepalanya putus. Dan bersama dengan itu juga, aparat polisi menembakkan pistol ke arah pak Centeng. Sehingga dalam waktu sekejap saja, meninggallah keduanya. Yang satu lehernya putus, sedangkan yang satunya lagi berlobang merang menganga di kepalanya.
            Setelah selesai menguburkan kedua mayat itu, aparat polisi masih bertanya-tanya dimana gerangan mayat Fifi ditaruh oleh Maria. Kemudian mereka berdoa saja semoga dimanapun mayat Fifi, arwahnya diterima di sisi Tuhan  Yang Maha Kuasa.
            Dengan kepergian Maria, perkampungan itu menjadi berubah sepi. Gubuk Maria sekarang telah dihuni oleh penghuni yang baru.
            Dari perkampungan itu, terlihatlah sebuah gunung dikejauhan. Dikaki gunung itu terdapat sebuah biara. Saat itu, terlihatlah juga seorang biara yang bermandi merah yang bersembunyi dibalik pohon rindang yang hijau. Semuanya kelihatan merah, dan hanya merah. Ternyata biarawati itu adalah Maria. Maria yang kini tengah bersimpuh dihadapan patung bunda maria. Dia sedang menjalin doa, memohon ampun kesalahannya. Air matanya berderai, menangkap kilasan merah terakhir dilangit itu dalam bintik-bintik warna merah.
            Merah dari merahnya merah.
*****


RONGGENG DUKUH PARUK
Oleh : Ahmad Thohari
Pengarang                : Ahmad Thohari
Bentik                        : Novel
Penerbit                    : PT Gramedia, Jakarta
Tahun terbit             : 1982
Tebal                          : 174 halaman
Tokoh utama           : Srintil dan Rasus
Tokoh pembantu     : Santayib
                                      Istri Santayib
                                      Kertareja
                                      Nyai Kertareja
                                      Sakarya
                                      Nyai sakarya
Latar                          : tahunnya menjelang revolusi tatana orde baru. Tempat                                                    terjadinya peristiwa di Dukuh Paruk yang terdapat kunuran ,      persawahan, hutan,  warung, dan pasar.
Alur                            : alur yang digunakan adalah alur maju dan diselingi dengan                                                kilas balik.

Ringkasan.
            Dukuh Paruk adalah dukuh yang kecil dan tempatnya terpencil. Di Dukuh Paruk dulunya mempunyai moyang sebagai bromocorah tetapi setelah meninggal orang-orang dukuh Paruk memuja kuburannya. Bahkan kuburannya, Ki Secamenggala bekas Bromoncorah itu, menjadi kiblat kehidupan batin mereka.
            Suatu saat di tepi kampung Dukuh Paruk, tiga anak laki-laki, Rasus, Warta, dan Darsun sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong yang terpendam dalam tanah kapur. Ketiganya kemudian sibuk mengupasinya dengan gigi masing-masing dan kemudian memakannya. Ketika mereka melihat kambing-kambing yang sedang digembalanya, mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri, sambil mendendangkan lagu kebangsaan para ronggeng, Senggot Timbane Rante, Tiwas Ngegot Ning Ora Suwe. Srintil yang baru berusia sebelas tahun menyanyikan lagu hingga tak sadar dengan kedatangan ketiga anak tersebut. Ketiganya kemudian mengiringi Srintil untuk menari. Walaupun Srintil belum pernah sama sekali melihat pentas ronggeng, namun Srintil mampu menirukan dengan baik gaya seorang ronggeng.
            Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak-gerik Srintil ketika menari. Sakarya tidak ragu lagi bahwa Srintil, telah kerasukan indang ronggeng. Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan bergembira dikuburnya bila kelak mengetahui ada ronggeng di Dukuh Paruk. Tak seorangpun menyalahkan Sakarya, karena Dukuh Paruk akan lengkap jika disana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng dan seperangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi dengan ucapan orang luar yang senang mengatakan bahwa Dukuh Paruk adalah dukuh yang melarat, kumuh, jarang mandi, dan penyakitan.
            Keesokan harinya Sakarya menemui Kertareja yang seorang dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Mereka membicarakan tentang kepandaian Srintil menyanyi dan menari ronggeng. Sakarya meminta agar Kertareja membimbing Srintil agar menjadi ronggeng yang terkenal.
             Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kertareja selalu mengintip Srintil yang menari dibawah pohon nangka. Kedua lelaki tua itu sengaja membiarkan Srintil menari sepuas hatinya dengan diiringi calung mulut oleh Rasus dan kedua kawannya. Kertareja percaya akan cerita Sakarya, bahwa Srintil telah kemasukan indang ronggeng. Pada hari yang baik srintil diserahkan oleh kakeknya kepada  Kertareja. Itu merupakan hukum di Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus menyerahkan kepada dukun ronggeng untuk dijadikan anak akuan.
             Sudah dua belas tahun ronggeng di Dukuh Paruk mati. Untung serangan bubuk dan anai-anai tidak merapuhkan perangkat calung yang terbuat dari bambu di para-para dapur Kertareja. Perkakas itu siap pakai meski telah istirahat dalam waktu yang sangat lama. Kesulitan pertama yang dihadapi Kertareja adalah mendapatkan para penabuh. Penabuh gendang yang disayanginya telah meninggal pada malapetaka paceklik dua tahun yang lalu. Seorang lagi yang biasa menangani calung penerus, lenyap entah kemana. Namun Kertareja kembali menemukan Sakun. Sakun adalah laki-laki bermata buta yang mempunyai keahlian istimewa dalam memukul calung besar. Orang mengatakan tanpa Sakun pementasan ronggeng tawar rasanya. Sementara kemarau masih melanda Dukuh Paruk. Kertareja menemukan hari baik untuk memulai mengasuh Srintil. Malam itu Srintil didandani layaknya seorang ronggeng dewasa. Nyai Kertareja telah meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja akan tampak lebih cantik dari yang sebenarnya. Dan juga beberapa susuk emas telah dipasang oleh Nyai Sakarya ke tubuh Srintil.
             Bukan main senangnya hati masyarakat Dukuh Paruk ketika mendengar Kertareja bersuara dalam pertunjukan yang dinanti-nanti akan dimulai. Penonton menunda kedipan matanya ketika Srintil bangkit untuk memulai menari. Matanya setengah terpejam. Sakarya yang berdiri disamping Kertareja memperhatikan ulah cucunya dengan seksama. Dia ingin membuktikan bahwa kata-katanya bahwa dalam tubuh srintil telah bersemayam inangnya ronggeng. Dan Kertareja, snag dukuh ronggeng. Dan Kertareja yang seorang dukuh ronggeng mendapatkan kenyataan itu. Kertareja benar-benar telah membuktikan bahwa Srintilberbakat menjadi ronggeng. Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya menkengkam setiap penonton yang datang. Srintil mampu melentikkan jari-jari tangannya yang memang merupakan gerakan yang paling sulit bagi seorang ronggeng. Srintil juga mampu melempar sampur sebagaimana ronggeng yang baik. Penampilan Srintil dibumbui dengan ulah Sakum Lestari yang kocak dan cabul. Suara “cess” tidak pernah luput dari mulutnya ketika Srintil menggoyangkan pinggul. Sehingga penampilan tampak serasi dan hidup. Satu babak telah usai. Calung berhenti,dan Srintil kembali duduk, dan istirahat. Gumam penonton terdengar berisik. Ada yang ingin menggendong, ada yang ingin menculik pakaiannya setelah pentas, ada yang ingin memijat setelah pertunjukan, dan masih banyak lagi komentar penonton yang ingin memanjakan Srintil, yang kebanyakan kaum perempuan. Rasus yang sejak tadi berdiri tak bergerak di tempatnya mendengar pergunjingan itu. Anak laki-laki yang berusia tiga belas tahun itu merasa Srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa bermain sepuasnya dengan Srintil dibawah pohon nangka. Tetapi Rasus tidak berkata apapun. Dia tetap terpaku di tempatnya.
            Malam itu kenangan atas diri Srintil telah meliputi hati semua orang di  Dukuh Paruk. Penampilan itu juga sempat mengingatkan kejadian yang terjadi di Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu.
            Srintil adalah seorang anak yatim piyatu sejak bayi. Dia salah satu sisa sebuah malapetaka yang membuat anak-anak di Dukuh Paruk kehilangan ayah dan ibu. Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi, Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup oleh siraman hujan yang sangat lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu sunyi dan lenggang. Saat itu kira-kira pukul dua belas malam, tahun 1946, semua penduduk itu sudah lelap dalam tidurnya, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya, membuat tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang di Dukuh Paruk akan tempe itu, namun dialah yang pertama kali terjaga dari tidurnya. Disusul istrinya. Mereka bekerja menyiapkan dagangan yaitu tempe bongkrek. Ketika hari mulai siang satu dua orang datang membeli bongkrek kepada istri Santayib.
            Dukuh Paruk mulai hidup. Bila anak-anak Dukuh Paruk sudah mulai lari keluar dan merobek daun pisang, berarti sarapan pagi sudah siap. Hanya beberapa orang yang makan dengan piring. Mereka makan dimanapun mereka suka. Matahari mulai naik. Ketika menjelang tengah hari, di Dukuh Paruk terjadi kepanikan. Keracunan tempe bongkrek. Istri Santayib sangat cemas melihat banyak orang geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ditengah kebimbangan demikian, muncullah Sakarya, ayah Santayib sendiri. dibelakang Sakarya muncul tiga laki-laki yang lain. Ketiganya dengan wajah berang. Sakarya memarahi anaknya. Karena tempe bongkrek yang dibuatnya mengandung racun. Tetapi Santayib tidak menerima tuduhan itu.karena dia merasa bahwa bahannya bungkil kering yang tidak dicampur dengan apapun. Dia tidak terima dengan perlakuan ayahnya yang mengajak orang-orang untuk menuduh dirinya. Tetapi ayahnya menyatakan bukti bahwa anaknya, istrinya, emaknya, dan semuanya tergeletak karena telah memakan tempe bongkrek yang dibeli dari istri Santayib tadi pagi.
            Rasa getir, kelu, dan bimbang mencekam hati Santayib. Dia bingung. Demikian pula istrinya. Dia berlari kesana-kemari menangis sambil memeluk anaknya, Srintil. Srintilpun menangis keras-keras. Dalam kekacauan itu, Santayib bertindak tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Dia marah sambil mengumpat orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dia tetap tidak menerima tuduhan itu. Dia ingin membuktikan bahwa tempe bongkreknya tidak mengandung racun. Diambilnya seraup tempe bongkrek,lalu dimakannya tempe itu. Sakarya kaget, tetapi ketika dia akan merebut bongkrek tersebut dari tangan Santayib, dia terjatuh, sehingga Santayib telah benar-benar memakan tempe bongkrek beracun itu. Istri Santayib kaget. Tetapi karena rasa setianya, maka tanpa berpikir panjang diapun ikut makan tempe bongkrek dari tangan Santayib, suaminya. Karena tidak menerima kenyataan inilah suami istri itupun tidak berapa lama meninggal dunia. Meninggalkan Srintil yang disayanginya untuk selama-lamanya. Kini Srintil yatim piatu. Juga balasan anak lainnya menjadi yatim piatu akibat tempe bongkrek itu.
            Sejak saat itulah Srintil diasuh oleh neneknya, Nyai Sakarya, dan kakeknya, Sakarya. Rasus yang saat itu juga makan tempe bongkrek, selamat. Tetapi ayahnya langsung meninggal, sedang emaknya masih hidup sampai seorang mantri membawanya bersama lima orang lainnya ke poliklinik disebuah kota Kawedanan. Seorang kembali ke Dukuh Paruk dan tiga orang lainnya meninggal. Emak Rasus tidak ada diantara mereka. Inilah yang membuat Rasus heran. Dia mendapat keterangan dari orang lain bahwa emaknya meninggal, dan mayatnya digunakan untuk kepentingan penyelidikan tentang racun tempe bongkrek. Dia juga mendapat keterangan bahwa emaknya dibawa oleh mantri, jadi masih hidup. Oleh kesimpang-siuran itu akhirnya Rasus membiyarkan emaknya hidup abadi dalam angan-angannya.
            Kini Rasus telah melihat kenyataan bahwa Srintil telah menjadi ronggeng dalam usia sebelas tahun di Dukuh Paruk. Sejak saat itu Srintil dipingit oleh Sakarya, kakek Srintil. Rasus merasa kehilangan perhatian Srintil. Dia tidak bisa bermain dengan Srintil lagi seperti dahulu. Dia mencari akal untuk membuat perhatian Srintil kembali lagi. Suatu hari Rasus telah menemukan cara untuk memperoleh perhatian ronggeng Dukuh Paruk itu, yaitu dengan memberikan sebuah pepaya, hasil curian dari ladang tetangga. Tetapi dia memperoleh ucapan terima ksih yang sangat menyakitkan dari Srintil. Pada kesempatan lain Rasus memberikan keris Kyai Jaran Guyang, bekas milik ayahnya. Dia memberikan keris itu pada saat Srintil sedang tidur nyenyak. Keris itu diletakkan didekat Srintil. Tetapi ketika Srintil terbangun pagi harinya, dia mengetahui bahwa yang meletakkan keris itu adalah Rasus. Karena keris itu dibungkus dengan baju Rasus. Keris itu merupakan keris pekasih yang dahulunya dipakai sebagai jimat para ronggeng. Untuk itulah Srintil sangat senang akan pemberian Rasus itu. Rasuspun senang karena telah memberikan keris itu kepada Srintil. Dia senang karena perhatian Srintil kembali lagi padanya.
            Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Tetapi masih ada dua tahapan lagi yang harus dilalui Srintil agar menjadi ronggeng yang sebenarnya. Salah satunya adalah upacara pemandian dideoan makam Ki Secamenggala, dan setelah itu Srintil menari. Pada saat seperti itu Rasus merasa kerinduan kehadiran emaknya terobati. Bagi Rasus, Srintil adalah sebuah cerminan emak rasus ketika sedang menari.
            Syarat terakhir yang harus dipenuhi Srintil adalah syembara bukak klambu. Sayembara inilah yang membuat Rasus gelisah. Srintil teman sepermainannya harus menyerahkan kegadisannya kepada laki-laki yang memenuhi syarat dalam sayembara itu. Kertareja sudah menentukan sayembara itu akan dilakukan pada hari sabtu malam. Ketika pada jumat malam belum ada seorangpun pemuda yang memenuhi harapannya, menyerahkan kepingan ringgit emas bagi keperawanan Srintil. Malam itu datang Dowir yang membawa dua ringgit perak sebagai panjar, tetapi sepulangnya dari rumah Kertareja dilempari lumpur oleh pemuda-pemuda yang juga mengharapkan kemenangan sayembara itu, termasuk Rasus.
            Rasus yang saat itu sedang gelisah dihibur oleh Warta dengan lagu duka bagi para yatim piatu. Kemudian saat Rasus pulang dia bertemu dengan Srintil di kuburan. Pulang dari kuburan dia tidak langsung pulang tetapi duduk di dekat kambingnya, dengan hati gelisah. Karena beberapa jam lagi Srintil bukan lagi Srintil yang dikenalnya.
            Malam itu Dower datang lagi dengan membawa seekor kerbau. Dower tidak menyangka kalau Kertareja belum menerima syarat tersebut, karena yang dia inginkan adalah sekeping uang emas. Dower dan Sulam sempat bertengkar karena keduanya telah memenuhi syarat dari Kertareja. Dengan kepandaian dan kelicikan Kertareja, maka kedua pemuda itu merasa telah memenangkan sayembara itu. Kedua pemuda itu telah menyerahkan hartanya, tertipu oleh Kertareja. Sedang Kertareja telah mendapatkan harta dari kedua pemuda itu. Kertareja maupun kedua pemuda itu tak pernah tahu bahwa keperawanan Srintil sebenarnya telah diberikan kepada Rasus beberapa jam sebelumnya.
            Rasus merasa sejak peristiwa bukak klambu itu Srintil telah keluar dari hatinya. Sehingga ketika Dukuh Paruk bergembira ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi ronggeng itu. Rasus malah membencinya. Pengikat yang membuat Rasus mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali. Rasus tak lagi mempunyai cermin tempat untuk mencari bayang-bayang maknya. Neneknya menjadi korban balas dendam Rasus kepada Dukuh Paruk. Rasus meninggalkan neneknya. Rasus berpindah-pindah tempat, sampai suatu saat dia berkenalan dengan pedagang singkong. Kemudian dia bekerja dengan orang itu, sampai berbulan-bulan lamanya.
            Di pasar Dawuhan itu Rasus masih dapat merekam perkembangan Dukuh Paruk, dan sekali-kali dapat melihat Srintil yang datang berbelanja. Dengan penampilan Srintil yang sekarang, Rasus merasa kesulitan melihat bayangan emaknya di tubuh Srintil. Dia tak tega melihat emaknya sebagai perempuan yang selalu ramah kepada semua laki-laki. Di asar Dawuhan itu pula Rasus memperoleh pengalaman-pengalaman dan makin mampu menilai kehidupan di Dukuh Paruk secara kritis, tentang kemelaratanyya, kebodohannya, dan kemalasaanya. Rasus juga mulai mempunyai gambaran tentang emaknya, yaitu sebagai seorang perempuan di Dukuh Paruk.
            Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuhan tidak aman lagi. Perampokan dengan kekerasan sering terjadi. Rasus meninggalkan pasar Dawuhan, pindah dari tempat satu ke tempat lainnya bersama kelompok tentara dibawah pimpinan Sersan Slamet, yang sebagai seorang tobang. Tentara-tentara itu bermarkas di Dawuhan. Sersan Salmet sangat memperhatikan Rasus, bukan hanya mengajari membaca dan menulis. Rasus juga memperoleh pelajaran tentang cerita wayang, sejarah, dan seluk-beluk senjata. Bahkan dia telah mampu membongkar senjata dalam model apapun.
            Suatu kali Rasus diajak Sersan Slamet berburu di hutan. Di hitan itu Rasus telah berhasi membunuh bayangan mantri yang selama ini sangat dibencinya, karena telah melarikan emaknya. Pembunuhan yang dilampiaskan pada sebingkah batu itu sempat membangunkan Sersan Slamet dan kawan-kawannya, yang saat itu sedang tertidur. Mereka heran dengan ulah Rasus itu. Mereka telah menganggap bahwa Rasus telah kemasukan setan hutan, karena telah menghancurkan sebongkah batu dengan bedil. Akhirnya Rasus menceritakan kepada Sersan Slamet mengapa dia melakukan hal yang aneh itu, dan Sersan Slamet akhirnya memaklumi hal itu.
            Kehadiran tentara di Dawuhan akhirnya tak selamanya dapat mencegah perampokan, bahkan malah menjadi-jadi. Kemudian Sersan Slamet membagi kelompok untuk mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga menyimpan emas permata, dan yang diduga akan didatangi perampok-perampok itu. Karena jumlah tentara yang terbatas, maka Rasus ikut pula dalam kelompok yang mengawasi Dukuh Paruk. Pada malam ke sembilan terjadi perampokan dirumah Kertareja tempat ronggeng Srintil. Rasus berhasil membunuh dua diantara lima perampok itu. Dengan keberaniannya itulah Sersan Slamet akan mengusahakan agar Rasus menjadi tentara dalam kelompoknya. Dalam kesempatan itulah Rasus dapat bertemu lagi dengan neneknya yang selama ini telah ditinggalkannya. Rasus pulang kerumah neneknya, bersama Srintil. Srintillah yang menyiapkan makanan untuk Rasus dan neneknya selama beberapa hari ini. pada malam terakhir Rasus berada di rumah itu, Srintil mendesak Rasus agar dia tidak kembali ke markas. Srintil meminta agar Rasus menikah dengan dia, tentang keperluan hidup Srintillah yang akan memenuhinya. Srintil sangat mendambakan seorang anak lahir dari rahimnya.
            Pagi harinya, sebelum Srintil dan neneknya bangun, Rasus yang sudah merasa menemukan dirinya meninggalkan Dukuh Paruk dan neneknya, setelah dia memperoleh orang untuk menjaga neneknya.
            Dengan menolak perkawinan dengan Srintil tersebut. Rasus merasa telah memberikan sesuatu yang berharga kepada Dukuh Paruk, yaitu seorang ronggeng.
            Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dengan gagahnya bukan karena bedil di pundaknya, melainkan dia telah yakin bahwa dia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan emaknya.
*****



TAK ADA ESOK
Oleh : Mochtar Lubis
Pengarang                      : Mochtar Lubis
Bentuk                             : Novel
Tahun terbit                   : 1989
Penerbit                          : Pustaka jaya, Jakarta
Tebal                               : 225 halaman
Tokoh utama                 : Johan dan Sudiarto
Tokoh pembantu          : Daryoto
                                           Syarifah
                                           Hasan
                                           Sentot
                                           Nakasima
                                           Yamin
                                           Isye
                                           Arifin
                                           Ali
                                           Warjo
                                           Hamid
                                           Dulhak
                                           Ahmat
                                           Sugiarto
Latar                                :  pada zaman revolusi, di bukit dan di hutan, di sungai, di
                                            daerah Jogjakarta, Kerawang, Ambarawa, Bekasi, dan
                                            waktunya pada siang dan malam hari.
Alur                                  : alur campuran
 
Ringkasan.
            Perang ! sejam lagi matahari akan terbenam. Disalah satu bukit yang terbesar di sepanjang jalan yang berkelok dan sunyi itu, Johan berbaring ditengah padang ilalang sambil sesekali menegakkan kepala mengintai kebawah, kejalan yang sepi. Dia merasa gelisah. Dan dia merasa sendiri di tengah-tengah ilalang, bukit-bukit, hutan-hutan jati, gunung tanah datar, dibawah langit. Meskipun dia tahu, bahwa yang lain juga ada disekelilingnya, yang bersembunyi, yang menunggu-nunggu. Seperi dia juga. Tetapi tidak pernah terpikir olehnya, bahwa yang lain itu juga merasa seperti dia. Menunggu dengan gelisah. Mereka sedang menunggu iringan konvoi serdadu Belanda yang akan melewati jalan dibawah mereka. Mereka kanan menghadang, menyerang dan menghancurkan konvoi itu.
            Johan merupakan salah satu perwira dari mereka itu dengan pangkat letnan. Johan merupakan seorang yang peka perasaannya dan sering berpikir tentang hal-hal yang orang lain tak memikirkannya. Memang Johan bermaksud menulis semua pengalaman hidupnya, tetapi dia bingung darimana tulisan itu dimulai. Dan keinginan itu selalu dibawanya kemanapun dia pergi.
            Seperti juga saat itu, sore menjelang matahari tenggelam, saat-saat tegang menunggu konvoi Belanda yang akan lewat, dia menunggu sambil tanpa sadar dia melamun. Dia melamun darimana tulisannya akan dimulai. Dia bingung apakah mulai dari kanak-kanak, masa remaja atau pada masa dia mulai ikut perang ? akhirnya dia putuskan untuk menulis dimalam pertama dia menjadi dewasa.
            Malam pertama dia menjadi dewasa dimulai ketika dia berjalan-jalan bersama Daryoto di pasar Senen. Diantara keramaian pasar, diantara bisingnya penjual obat, dia disentuh seorang perempuan. Perempuan itu memeluk tangannya lalu memeluk pinggangnya. Dia bingung karena selama hidupnya memang baru saat itu dia berdekatan dengan seorang perempuan. Dia menoleh pada temannya. Ternyata, Daryono telah mengepit seorang perempuan pula. Dia bingung, tetapi karena malu dia berpura-pura gagah. Karena dia tidak bermaksud tidur dengan perempuan itu, akhirnya Daryono mengajak mereka berjalan-jalan dengan taksi. Mereka berkeliling-keliling. Dalam taksi mereka berdekatan dengan pasangan masing-masing. Perempuan Johan selalu berusaha membangkitkan gairah nafsu Johan dengan sentuhan-sentuhan. Johan tak tahan. Mereka saling meremas jari-jemari tangan dengan penuh kemesraan. Akhirnya adegan panas tersebut berakhir di kamar.
             Dan besoknya ketika dia pulang dia merasa takut. Dia takut terkena penyakit sipilis. Untuk menghilangkan perasaan takut tersebut dia pergi ke dokter. Waktu pertama kali dia ditanya dokter dia merasa malu-malu tapi akhirnya dia mengaku juga, bahwa dia telah tidur dengan perempuan pelacur. Dokter memeriksanya. Ternyata hasil pemeriksaan menyatakan bahwa dia tetap bersih dan sehat, tidak ada gejala penyakit sipilis. Dia sangat lega dan gembira sekali saat keluar dari kamar dokter.
            Kemudian dia tersentak dari ingatannya yang melayang-layang mendengar bunyi peluit tanda berkumpul. Dia melihat ke jalan. Jalan masih tetap sepi. Ternyata konvoi yang ditunggu-tunggu tidak lewat-lewat juga. Dia berjalan untuk berkumpul dengan teman-temannya yang seperjuangan.
             Mereka berkumpul ditengah-tengah hutan jati. Mereka membentuk formasi lingkaran. Salah seorang diantara mereka yang berpangkat kapten, mengangkat tangan dan berkata sambil bertanya kelengkapan anggotanya. Setelah meneliti pasukannya ternyata semua anggota telah lengkap. Akhirnya pemimpin mereka, Kapten Sudiarto, memerintahkan untuk kembali. Mereka bergerak dalam gelapnya malam untuk kembali ke markas mereka.
            Selama dalam perjalanan tersebut, Johan kembali berpikir, bahwa hal itu juga harus ditulisnya. Sedikit demi sedikit mulailah pikirannya mengembara kembali. Dia teringat setelah dia bersih dari penyakit sipilis setelah diperiksa ke dokter. Dia ingin kembali lagi. Dia pergi bersama Daryoto. Dan akhirnya dia pergi sendiri. mulai saat itu dia senang main perempuan.
            Tahun 1939 Johan keluar dari sekolah AMS. Setelah tamat dia juga mulai mencari pekerjaan. Sudah sebanyak lima kali dia melamar pekerjaan, akhirnya dia diterima kerja disebuah maskapai penerbangan milik Belanda. Kerjanya tidak sukar, hanya menghitung keuntungan maskapai itu setian harinya. Gaji yang diterima setiap bulan sebanyak empat puluh lima rupiah, perbedaan gaji yang amat besar bila dibandingkan dengan seorang anak Belanda dari HBS yang mendapat gaji seratus dua puluh lima.
            Kembali ingatan Johan tersentak ketika rombongan mereka sampai sungai yang berada ditengah-tengah htan jati tersebut. Disana rombongan mereka diserang oleh Belanda. Mereka semua kaget, tetapi akhirnya dengan jalan berpencar dan mundur mereka berhasil menyelamatkan diri. Disuatu tempat mereka berkumpul kembali. Disana mereka beristirahat. Pagi harinya mereka kembali berkumpul. Mereka ngobrol disebuah dangau kosong ditengah ladang. Johan meminta kepada salah seorang anak buahnya untuk bercerita tentang pengalaman hidupnya, teapi mereka tidak mau karena tidak bisa dan juga malu. Kemudian Johan meminta kepada pemimpinnya, Kapten Sudiarto, untuk bercerita. Sudiarto bercerita sedikit tentang Perang Dunia II dan dilanjutkan permintaan agar Johan sendiri yan bercerita.
            Mulai saat itu Johan ingin berkenalan dengan Syarifah. Dan perkenalan itu berlanjut menjadi hubungan asmara diantara keduanya. Mereka saling melakukan hubungan sebagai suami-istri. Hal itu sering dilakukan di kamar Johan. Hubungan itu terus berlanjut sampai akhirnya Syarifah bilang bahwa dia mau kawin dengan seorang saudagar. Dan keduanya terpaksa berpisah. Namun Johan tidak mau bercerita tentang pengalaman hidupnya tersebut. Dia berdiri dan tertawa kemudian pindah  ke bawah sebuah pohon.
            Kembali Johan teringat akan masa lalunya. Dia teringat setelah Syarifah kawin, dia ingat ketika Perang Dunia II pecah, dia ingat ketika Pear Harbour diserang Jepang yang kadang-kadang situasi menjadi seram dan kadang-kadang menjadi lucu. Dia juga ingat ketika dia bertemu kawannya yang bernama Hasan. Hasan bercerita bahwa dalam barisan stadswacht dia selalu diburu Jepang, dibukit-bukit sampai akhirnya dia tertangkap, dipenjara dan dia berhasil melarikan diri.
            Dia teringat ketika dia bertemu lagi dengan Syarifah di pasar malam Rakutenchi. Dari pertemuan itu akhirnya cerita lama berlanjut. Kembali dia rasakan malam-malam mesra bersama Syarifah. Dan pada setiap kali bermain asmara di rumah Syarifah, dia selalu diberi uang oleh Syarifah. Lama-lama dia merasa dirinya sebagai pelacur. Dia ingin lari dari Syarifah.
            Dia juga teringat ketika pada tahun 1943, kehidupan teramat sulit. Krisis melanda dimana-mana akibat penindasan Jepang. Saat itu sekutu-sekutu Jepang banyak yang kalah. Dia waktu itu diajak Nakasima makan di restoran. Disana dia dikenalkan dengan Nakimoto. Seorang lagi diantara mereka adalah Yamin, seorang Indonesia antek Jepang. Di restoran itu Nakasima tampak sangat akrab dengan seorang pelayan yang bernama Isye. Rupanya Nakasima dengan Isye sudah langganan. Malam itu juga mereka tidur bersama.
            Terdengar peluit berbunyi, Johan tersentak mendengar peluit tanda berkumpul. Mereka semua berkumpul, Letnan Arifin melaporkan bahwa Belanda mulai mengepung semua tempat mereka bersembunyi. Kapten Sudiarto memerintahkan mereka untuk menyerang Belanda malam itu. Mulailah mereka membuat siasat yang akan dijalankan. Malam harinya kembali pasukan itu mulai bergerak. Pasukan mereka dibagi menjadi pasukan kecil. Masing-masing pasukan bergerak dengan selang waktu masing-masing sekitar setengah jam.
            Dan dalam perjalanan itu Johan kembali ingatannya melayang. Dia teringat ketika dapat cuti dari kantor Dumei di Jakarta. Dia pergi ke Jogjakarta dengan naik kereta api. Dia pergi dari Jakarta karena dia ingin lari dari Syarifah. Dalam gerbang kereta api dia menemui beragam cerita tentang rakyat kecil, tentang perempuan dan anak yang masih kecil, tentang tukang-tukang catut, tentang pelacur, dan tentang krisis yang ditimbulkan oleh Jepang. Tetapi dia tidak peduli. Dia tidur terus sampai kereta api tiba di Jogjakarta. Dari stasiun dia langsung menujuju rumah Hasan. Ditempat Hasan dia menemui tantangan. Dia bertani membantu Hasan disawah. Dia berhasil melupakan Syarifah.bahkan dari pembicaraanya dengan Hasan mereka sepakat untuk masuk peta guna mencari ilmu kemiliteran sebagai bekal mereka untuk memperjuangkan bangsanya.
            Ketika cutinya habis, Johan kembali ke Jakarta. Di Jakarta dia menemui Syarifah. Dia ingin mengatakan kepada Syarifah bahwa dia ingin berpisah dengan Syarifah. Tapi kata itu begitu sulit dikeluarkan. Akhirnya dengan berbagai alasan yang dibuat oleh Johan, Johan berhasil menghindari Syarifah.
            Pada tahun 1944, Johan diterima dalam latihan opsir peta. Mula-mula dirasa berat juga olehnya. Bangun pagi-pagi sekali, berlatih terus-menerus, makan makanan yang sederhana, dan disiplin yang keras. Baginya latihan itu merupakan suatu ujian tersendiri. Dia hendak mencari nilai-nilai baru dalam penghidupan. Sebab itu dia mengeraskan hatinya. Banyak yang telah dia pelajari dalam peta, teknik bertempur, ilmu berkelahi,dan strategi perang. Setelah latihan perang mereka diberi pedang samurai sebagai tanda bahwa mereka telah menjadi opsir. Mereka ditempatkan di puwakerta.
            Demikian peristiwa demi peristiwa terus berlalu sampai akhirnya sekutu Jepang kalah perang. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang sendiri juga menyerah. Setelah Jepang menyerah kekuasaan menjadi vakum atau kosong. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh pemuda. Mereka menculik Soekarno-Hatta, sampai pada akhirnya terjadi proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Setelah peristiwa itu para pemuda membentuk tentara keamanan rakyat yang disebut BKR. Johan juga ikut dalam BKR.
            Akhirnya pasukan-pasukan Inggris dan India tiba di Indonesia sekitar Oktober 1945. Dia berkelana dengan seorang opsir India. Pertempuran hebat di Surabaya pada 10 November. Hingga suatu malam sahabatnya, opsir India, memberitahu mereka, bahwa daerah Keramat akan diperiksa, dan semua orang yang bersenjata akan ditangkap. Sentot, sebagai kepala seksi Keramat, memerintah kepala pasukan mereka untuk keluar kota dengan membawa senjata-senjata berat. Merekapun berangkat keluar kota dengan membawa senjata berat. Mereka berjalan dalam gelap dengan memasuki hutan jati. Ketika mereka sampai ditepi sungai mereka diserang oleh tentara musuh. Peluru berdesingan. Johan tersentak dari lamunannya katena benar-benar didengarnya bunyi ledakan peluru yang berdesinyan ditelinganya. Ternyata, pasukanmereka diserang oleh musuh. Mereka segera berlindung. Atas perintah kapten Sudiarto, mereka kembali ke tengah hutan jati dan meneruskan perjalanan ke arah lain.
            Dalam perjalanan itu, kembali pikiran Johan melayang. Dia ingat bagaimana mereka anggota prajurit yang tinggal dibelakang melompat menyeberangi sungai cepat-cepat karena diburu tembakan. Pada saat itu pula dia merasa bahu kirinya dihantam benda besar dan berat. Dia terhempas ditanah dan sayup-sayup dia mendengar bahwa dia terkena tembak. Setelah itu, dia pingsan dan baru sadar ketika berada diatas tempat tidur di markas mereka. Ketika baru sadar orang pertama yang dilihatnya adalah Letnan Arifin. Oleh Letnan Arifin, dia dibawa ke mobil gerobak. Ternyata disana ada Sentot yang baru datang dari Jakarta. Dan merekapun berangkat kerumah sakit di Karawang untuk mengobati luka Johan.
            Setelah dari rumah sakit mereka terus ke stasiun. Disana mereka berembuk apakah mereka akan kembali ke Jogja atau tetap di Jakarta. Akhirnya Johan dan Arifin memilih kembali ke Jogja  untuk masuk tentara TRI. Sedangkan Sentot tetap di Jakarta untuk masuk laskar rakyat. Merekapun segera berpisah di stasiun, setelah sebelumnya mereka saling menceritakanlatar belakang masing-masinghingga mereka masuk menjadi pejuang.
            Dalam perjalanan ke Jogja, di kereta api Johan hanya tertidur. Dia hanya ingin turun di stasiun Tugu dengan dibantu Arifin karena dia sedang demam akibat lukanya. Setelah itu dia naik andong. Dan kembali Johan langsung pingsan. Dia baru sadar kembali setelah dia sampai di rumah sakit. Ketika berada di rumah sakit dia mendapat kabar dari Arifin bahwa Sentot dan laskar-laskarnya di Jakarta berhasil mendapatkan dua bren dari Inggris. Dia ingin kesana. Johan dikeluarkan dari rumah sakit dua minggu kemudian. Dia menemui Arifin di asrama Akademi Militer.
            Pada suatu waktu Johan dan Sentot bertemu di Kerawang. Di stasiun Kerawang mereka melihat pasukan Sabilillah yang baru datang dengan kereta yang terlambat. Pasukan Sabilillah itu mau menyerbu. Dia dan Sentot segera kembali ke markas laskar rakyat. Di markas itu ketika malam terang bulandan mereka sedang asyik bercakap-cakap, datang seorang anak buah Sentot yang melaporkan bahwa mereka akan menyerang. Mereka ikut, tetapi tidak turut menyerang karena dilarang oleh Sentot. Menurut Sentot, orang-orang sabil itu tidak bisa berperang, orang-orang sabil akan kalah. Oleh karena itu mereka hanya ikut mengintai. Dan ternyata dugaan Sentot memang benar. Pasukan sabil kalah.
            Akhirnya, ketika Johan akan kembali ke Jogja,sekali lagi dia mengajak Sentot untuk masuk tentara bersamanya di Jogja. Namun Sentot menolak, terpaksa dia kembali sendirian ke Jogja. Setelah beberapa waktu kemudian dia mendapat kabar bahwa Sentot mati tertembak dalam pertempuran di pinggir kali Bekasi.
            Suatu hari ketika dia bersama Arifin dan seorang sopir mau pergi ke Ambarawa, ternyata ditengah jalan ban mobil yang mereka kendarai kempes. Akibatnya, mereka harus mengupah sopir yang membantunya. Selama menunggu mereka dan bersama dengan pasukan Dasindo yang akan datang di front pertempuran, mereka berbincang-bincang sejenak lalu berpisah. Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya penambalan selesai. Merekapun segera berangkat.
            Mereka tiba dengan selamat di markas Hasan, yaitu di hutan pertahanan. Malam harinya hutan pertahanan itu diserang oleh musuh, tetapi pada saat itu prajurit sedang berada di desa sehingga mereka selamat. Pagi harinya mereka berangkat ke front depan menggantikan prajurit yang bertugas sebelumnya. Ditengah jalan, disebuah dangau, Kapten Hasan memberi penjelasan dengan peta bahwa musuh mengepung mereka dan mereka harus melawan dengan posisi-posisi yang sudah ditentukan. Setelah itu, mereka meneruskan perjalanan.
            Tempat pertahanan mereka di lereng bukit yang menghadap ke jalan. Dari sana mereka dapat memantau gerakan musuh yang ada diseberang sungai lewat mata-mata yang mengintai. Dari tempat itu pula Hasan memimpin pasukannya. Siang harinya mereka diserbu musuh dengan menggunakan pesawat terbang, tetapi mereka semua selamat. Malam hari pasukan pengganti mereka datang. Merekapun pulang ke markas. Johan pulang terlebih dahulu dengan mengendarai kudanya.
            Ketika Johan tiba di markas ternyata Hasan tidak ada. Hasan telah pergi memeriksa pasukan-pasukannya di garis pertahanan dan baru datang pada malam harinya. Pada malam itu seperti biasa sebelum tidur mereka mengadakan upacara malam. Hasan membacakan doa dan setelah upacara selesai merekapun beristirahat sambil tetap bersiaga.
            Setelah upacara iru, Hasan mengajak Johan jalan-jalan. Mereka pergi ke bawah pohon jambu ditepi ladang. Disana dia dan Hasan bercakap-cakap tentang perjuangan yang sedang mereka tempuh, dan juga prajurit-prajurit yang terpecah karena pertentangan seperti antara tentara dan laskar. Setelah sekian lama mereka bertukar pikiran, mereka mendengar dari dangau suara-suara prajurit menyanyikan lagu perjuangan. Mereka lalu pergi bergabung dengan para prajurit. Setelah itu, Johan pergi tidur.
            Pukul dua pagi mereka bangun dan segera bersiap-siap. Pada pukul lima pagi musuh mulai menyerang mereka, tetapi mereka dapat menahan serangan musuh tersebut. Setelah agak siang pasukan musuh dibantu dari udara dengan kapal-kapal terbang, maka prajurit hanya bisa bertahan dan pasrah. Pertempuran berlangsung terus-menerus. Dari waktu ke waktu para prajurit mulai berkurang karena berguguran. Namun perintah mundur dari Hasan tak juga datang, sehingga mereka terus bertempur hingga banyak perwira yang gugur, seperti Letnan Joko dan Letnan Arifin. Setelah banyak yang berguguran, maka Hasan datang sendiri memeriksa kedudukan mereka. Ternyata ketika memeriksa, Hasan terkena pecahan mortir hingga diapun gugur. Setelah kapten Hasan gugur, berturut-turut gugur pula Letnan Rachman dan Sersan Yacub. Walaupun banyak prajurit yang gugur, ternyata pertempuran itu terus berlangsung, sampai malam harinya. Malam itu mereka mundur setelah mendapat perintah dari komandan devisi.
            Esoknya pertempuran itu dilanjutkan. Hari-hari berikutnyapun demikian dan musuh terus maju, hingga ada keputusan dari dewan keamanan untuk genjatan senjata. Setelah hari itu hanya hari-hari perundingan dengan Belanda. Kemudian mereka bergabung dengan batalyon Siliwangi untuk menumpas PKI di Madiun. Kembali ingatan Johan tersentak ketika dia mendengar perintah Kapten Sudiarto bahwa mereka boleh kembali ke ladang yang telah mereka tinggalkan. Mereka kemudian beristirahat satu jam. Kemudian perjalanan mereka dilanjutkan sampai disebuah desa. Di desalah mereka menginap.
            Di dekat desa itu mereka mengawasi musuh yang sedang mengobrak abrik desa. Ketika sudah berkumpul dan akan pergi, mereka segera menyebar dan mengintai di pinggir jalan kecil yang akan dilalui musuh. Ketika musuh sudah dekat, atas perintah Kapten Sudiarto, mereka segera menyerang. Setelah menyerang, mereka segera mundur dan terus berlari. Kemudian mereka berkumpul kembali. Ketika berkumpul itulah baru mereka ketahui pasukan mereka hanya tinggal enam orang, yaitu : Kapten Sudiarto, Letnan Johan, Ali, Warjo, Hamid, Lengkong, dan Dulhak. Sedangkan yang lainnya tewas.
            Setelah sejam kemudian, mereka segera menyusul prajurit yang bersama-sama beberapa penduduk yang melarikan diri. Penduduk itu hanya terdiri seorang perempuan muda yang sedang hamil, tiga orang anak kecil, seorang perempuan tua dengan kedua anaknya yang kecil dan anak gadisnya. Akhirnya bersama-sama mereka berlari terus. Mereka terus berjalan sampai suatu ketika prajurit yang ada di depan menjatuhkan diri dan memberi isyarat bahwa ada patoli musuh. Mereka semua berhenti dan berunding. Mereka tidak mungkin meneruskan perjalanan, sedangkan akan kembali mundur mereka akan bertemu lagi dengan musuh yang menyerang desa. Akhirnya, mereka memilih mendaki tebing disamping mereka. Merekapun mulai mendaki hingga akhirnya mereka sampai dipuncak tebing dalam keadaan lemas tak bertenaga.
            Pada malam harinya mereka berangkat lagi. Banyak warga desa yang ikut dengan mereka. Hanya yang tua-tua dan yang sayang hartanyalah yang tetap tinggal di desa itu. Mereka kemudian beristirahat untuk makan perbekalan yang sempat mereka bawa. Setelah selesai makan, Johan membawa serehu patroli kecil memeriksa kembali daerah sekeliling desa. Mereka sampai disebuah desa. Ternyata desa sunyi sekali dan tampak beberapa rumah dibakar oleh musuh yang rupanya baru saja menyerbu desa itu. Menurut penduduk yang mereka temui diluar desa, desa itu diserang oleh NICA pagi-pagi sekali.
            Kapen Sudiarto dan yang lainnya tiba di desa itu keesokan harinya. Mereka memutuskan untuk beristirahat beberapa hari di desa itu. Dari desa itu mereka mengirimkan pasukan kecil untuk teman-teman lainnya di pasulkan lain. Ternyata dari hasil penyelidikan itu teman-teman mereka telah lolos dan sudah kembali ke Gua Usang. Pada suatu pagi mereka kembali ke Gua Usang.
            Mereka mengadakan pencegatan terhadap konvoi Belanda. Pagi-pagi sekali ketika matahari baru muncul, mereka telah sampai dan mengambil kedudukanmasing-masing di bukit ilalang. Pada oencegatan itu, mereka berhasil menghancurkan sebuah tank, beberapa buah truk, sebuah bren-gun carier dan berhasil membunuh beberapa serdadu musuh. Sedangkan dipihak mereka jatuh korban sebanyak 15 orang. Dan diantara korban tersebut terdapat juga Letna Arifin dan Letnan Ahmat yang tewas karena peluru dan mortir musuh.
            Setelah pencegatan itu kapten Sudiarto membagi pasukan menjadi dua bagian. Sebagian besar kembali ke Gua Usang membawa yang luka-lukadengan pemimpin Letnan Asri. Sebagian lagi yaitu sepuluh orang prajurit dipimpin oleh Kapten Sudiarto dan Letnan Johan kembalike desa kecil di lereng gunung. Setelah pembagian itu, merekapun berpisah untuk berangkat ke tujuan masing-masing.
             Pasukan Sudiarto sampai di desa yang dituju ketika senja turun. Sudiarto dan Johan segera berembuk dengan lurah dan orang-orang tua desa itu. Mereka menyuruh warga desa berjaga-jaga dan bersiap-siap lari jika musuh datang. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali. Namun baru sekitar setengah jam mereka berangkat dari desa itu, terdengar bunyi rentetan senjata. Ternyata, desa itu sudah diserang musuh.
            Akhirnya, terjadi pertempuran kecil. Karena posisi mereka menguntungkan maka mereka berhasil bertahan sekian lama diatas puncak tebing itu sampai sore. Tetapi waktu itu musuh mulai menggunakan mortir sehingga para prajurit kalang kabut dan hanya bisa bertahan sebisanya. Setelah sekian lama musuh menyerang mortir. Akhirnya Ali yang berlindung di dekat Johan tewas terjena pecahan mortir. Johan mencoba menolong Ali tapi tak mampu. Dia mencoba berteriak memanggil Sudiarto tapi suaranya tak keluar. Johan merasa nafasnya sesak, tenggorokannya kering, ludahnya pahit dan mulutnya penuh tanah. Akhirnya dia hanya bisa menyandarkan kepalanya ke dinding tanah tempat dia dan Ali berlindung. Dia bersandar dengan mata terpejam.
            Tanpa sadar Johan melamun lagi. Dia teringat seorang gadis 16 tahun anak seorang kepala stasiun yang selalu melambaikan tangan di depan rumahnya ketika dia dan pasukannyalewat dengan kereta api di depan rumah gadis itu. Dia juga teringat bagaimana dia selalu berusaha menghampiri gadis itu setiap kali kereta itu berhenti di stasiun kecil. Hingga suatu hari, kereta api itu berhenti di stasiun kecil itu, Johan berusaha mendekati gadis kecil itu. Ternyata, gadis itu menerimanya dengan senyum. Ternyata, gadis itu sudah sejak lama menunggunya. Dan dalam pertemuan itu Johan sempat mencium bibir gadis itu. Ketika peluit kereta api berbunyi, tanda kereta api itu akan berangkat, Johan pamit dan dia berkata bahwa dia akan datang lagi kepada gadis itu. Sebelum berpisah sekali lagi, Johan mencium bibir gadis itu. Setelah itu, dia merasakan matahari pecah dengan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata. Ternyata sinar yang menyilaukan itu bukan matahari yang pecah melainkan mortir yang jatuh di dekatnya dan pecahannya menghantam Johan.
            Johan memandang matahari yang semakin turun disebelah Barat. Namun aneh dia tidak merasakan silau. Sayup-sayup dia mendengar bunyi tembakan. Akhirnya dia tersenyum dengan mulut yang kotor penuh tanah, karena matahari sudah terbenam. Hari telah malam pikirnya dengan girang, dan tangannya terlepas terkulai dan menutupi luka besar di dadanya yang terkena pecahan mortir. Setelah itu dia diam. Diam selamanya.
            Kapten Sudiarto memandang cemas kearah matahari yang masih bersinar terang walaupun senja sudah hampir turun. Sementara itu, musuh tidak menebak lagi dan mungkin sudah pergi. Akhirnya, dengan perlahan dia merangkak mendekati tempat persembunyian Johan. Didekat lubang persembunyian Johan, Sudiarto memanggil-manggil nama Johan. Namun, Johan tak menyahut. Ternyata Johan telah gugur dengan diiringi matahari yang sedang terbenam.
*****


PERTEMUAN DUA HATI
Oleh : NH. Dini
Pengarang                      : NH. Dini
Bentuk                             : Novel
Penerbit                          : PT Gramedia Jakarta
Tahun terbit                   : 1986
Tebal                               : 85 halaman
Tokoh utama                 : Bu. Suci dan Waskito
Tokoh pembantu          : Suami Bu Suci
                                           Bapak Waskito
                                           Ibu Waskito
                                           Kakek Waskito
                                           Nenek Waskito
                                           Anak Bu Suci
                                           Kepala Sekolah
                                           Guru-guru SD
Latar                                : di Purwodadi, di Semarang, di rumah, dan di Sekolahan
Alur                                  : alur maju

Ringkasan.
         Bu Suci adalah ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru SD disebuah kota kecil, yaitu Purwodadi. Sebenarnya dia dulu tidak bercita-cita menjadi guru, namun karena kehendak orang tuanya, maka dia harus memilib profesi menjadi guru. Dia sebenarnya ingin menjadi seorang sekretaris. Namun demikian, dia menjadi seorang guru yang baik, yang disamping tekun dan pintar mengajar, dia juga selalu mementingkan unsur pendidikan bagi muridnya. Dia berusaha agar murid-muridnya menjadi orang yang berguna bagi bangsa, agama, dan negara. Hal itu dilakukan dengan jalan melakukan pendekatan-pendekatan dari hati ke hati dengan murid-muridnya.
         Pada suatu saat, dia harus pindah ke Semarang. Hal itu terjadi karena suaminya dipindah tugaskan oleh perusahaannya ke kota besar itu. Suaminya seorang karyawan disebuah perusahaan angkutan. Di Semarang suamina bekerja sebagai seorang montir biasa. Karena kemahirannya yang menonjol akhirnya ditarik di kantor perusahaan itu ke kota Semarang sebagai ahli mesin dan pengawas bengkel.
         Perpindahan keluarga mereka ke Semarang dilakukan dengan cara bertahap. Suaminya berangkat lebih dulu untuk memenuhi tugas kantor dan untuk mencari rumah kontrakan tempat tinggal mereka sekeluarga. Disamping itu bu Suci harus menyelesaikan tugasnya sampai tahun ajaran baru, sambil mengajukan surat permohonan pindah tugas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
         Mereka pindah ke Semarang dengan jumlah keluarga sebanyak lima orang, yaitu : Bu Suci, Suami Bu Suci, dan tiga orang anaknya. Kemudian jumlah anggota keluarga mereka bertambah seorang yaitu uwak putri mereka yang ikut tinggal bersama mereka karena merasa kesepian setelah ditinggal mati suaminya.
         Hari-hari pertama mereka di Semarang, sangat sibuk bagi bu Suci. Dia harus mengatur ruangan rumah dan kebutuhan masing-masing anggota keluarga mereka. Namun, sebagai istri dan ibu yang baik, bu Suci tidak mengeluh. Dia mengerjakan tugasnya dengan senang hati serta penuh keikhlasan dan kesabaran.
         Di daerah tempat tinggalnya yang baru itu, ada adat baru yaitu tingkat kehormatan keluarga ditentukan oleh banyaknya harta yang dipunyai oleh sebuah keluarga, buakan oleh tingkat pendidikannya. Namun, bu suci tidak peduli dengan semua itu.
         Satu hal yang kurang menyenangkan bu Suci ketika dia harus menganggur sementara sambil menungu surat keputusan tugas dari Departemen. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena ketika dia mengantar anaknya ke sekolah, dia bertemu kepala sekolah dan sempat bercakap-cakap. Ternyata di sekolah tempat anak bu Suci sekolah sedang membutuhkan seorang pengajar untuk menggantikan tugas salah seorang guru yang sebentar lagi minta cuti hamil. Bu suci diminta olehbapak kepala sekolah untuk menggantikan tugas ibu guru tersebut. Bu Suci berjanji akan mempertimbangkan hal tersebut. Sambil menunggu ibu guru yang hami itu habis masa cutinya.
         Tapi rupanya penantian bu Suci tak lama, karena pada suatu hari bu Suci mendapat surat dari bapak kepala sekolah. Dalam surat itu bu Suci diminta untuk segera mengajar di sekolah tersebut. Ada seorang guru yang kecelakaan yang kemungkinan besar mengalami gagar otak. Bu Suci bersedia mengajar. Hari itu mulailah bu Suci mengajar di sekolah itu sebagai guru honorer.
         Di sekolah baru itu bu Suci memegang satu kelas yang didalam kelas itu dia menemukan kejanggalan sikap dari salah seorang muridnya yang bernama Waskito, waskito mempunyai sikap dan tingkah laku yang laindari anak lainnya. Waskito sering membolos sekolah dan apabila dia masuk sekolah sering membuat keonaran, membuat gaduh suasana kelas, memukuli teman-temannya. Bahkan Waskito pernah berbuat nekat dengan meresahkan satu sekolahan, akibat perbuatan nekatnya itu. Semua perbuatan Waskito merupakan tanggung jawab bu Suci. Karena Waskito sebagai anggota kelas yang dipegang oleh bu Suci.
         Bersama dengan timbulnya problem dimana bu Suci harus bertanggung jawab atas kelas yang dia pegang, termasuk kenakalan Waskito. Dilain pihak timbul problem lain didalam keluarganya. Anak bu Suci yang nomor dua menderita penyakit epilepsi atau ayan. Dan harus  menjalani perawatan jalan secara terus menerus ke dokter perusahaan suaminya. Dua problema sedang dihadapi bu Suci. Terasa berat bagi bu suci, namun dia berjanji untuk menyelesaikan problem itu dengan sebaik-baiknya.
         Langkah pertama yang dilakukan bu Suci adalah mencari penyebab Waskito menjadi nakal. Bu Suci sering mengadakan konsultasi dengan kepala sekolah, para guru, anak-anak didiknya yang lain, dan kepada keluarga Waskito. Bu Suci mendekati kakek dan nenek Waskito yang kebetulan seorang keluarga dokter yang ramah. Untuk mendekati bapak dan ibu Waskito sangatlah tidak mungkin, karena mereka mementingkan materi dari segala-galanya. Sehingga anaknyapun hanya dicukupi dengan materi saja tanpa diberi kasih sayang yang berlebih.
         Menurut penjelasan kakek dan nenek Waskito, sebenarnya Waskito bukanlah anak yang nakal. Tapi dia hanya menginginkan kasih sayang dari orangtuanya. Seperti yang didapat teman-temannya. Oleh karena rasa iri itulah Waskito sering menggoda, membuat gaduh, sampai juga memukul teman-teman yang ada di kelasnya.
         Memang keluarga Waskito kaya raya, tapi Waskito tidak mendapat kasih sayang dan perhatiannya yang cukup dari keluarganya. Dia tidak pernah diberi tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang salah. Itu semua karena bapaknya yang terlalu sibuk dengan bisnisnya. Sedangkan ibunya kurang bisa memdidik Waskito. Ibunya terlalu memanjakan Waskito. Waskito tidak pernah dipuji jika dia berhasil, tidak pernah dimarahi jika dia salah, tidak pernah diberi tanggung jawab sendiri, dan tidak pernah diperhatikan jika dia menginginkan sesuatu. Itu semua yang membuat Waskito memberontak dan berbuat hal yang tidak baik.
         Dari penjelasan dari nenek Waskito. Waskito pernah dititipkan dirumah neneknya selama setengah bulan. Kakek dan nenek Waskito sudah berhasil mendidik Waskito menjadi anak yang normal. Namun ibunya tidak suka dengan didikan yang diajarkan oleh neneknya. Ibu Waskito menganggap cara yang dipakai neneknya melatih tanggung jawab itu dianggap menyiksa Waskito. Dan untuk itu Waskito dibawa pulang kembali ke orang tuanya. Setelah kembali itulah kenakalan Waskito semakin menjadi-jadi. Demikian info yang diterima bu suci dari nenek Waskito. Ketika suatu sore bu Suci main ke rumah kakek dan nenek Waskito.
         Setelah mengetahui latar belakang keluarga Waskito, bu Suci berjanji untuk membantu Waskito semampunya. Namun sebelum dia melangkah kearah situ, kembali anaknya yang nomor dua harus menjalani pemeriksaan secara intensif oleh dokter perusahaan. Hal ini menyebabkan bu Suci tidak bisa hadir di sekolah selama dua hari. Ketika sudah masuk bu Suci mendekati Waskito sesuai rencana yang sudah dia rencanakan.
         Dalam keluarga Waskito sendiri terjadi perundingan. Dari perundingan tersebut diperoleh kesepakatan bahwa Waskito akan tinggal bersama budenya. Dan bapak serta ibu Waskito tidak boleh ikut campur dalam aturan keluarga besar bude Waskito. Demikian juga kakek dan nenek Waskito. Mereka boleh menengok Waskito apabila merasa kangen kepada Waskito.
         Di sekolah bu Suci mulai melibatkan Waskito dalam kegiatan kelas. Secara halus bu Suci sering meminta tolong kepada Waskito untuk menghapus papan tulis, mengumpulkan buku pekerjaan teman-temannya, mengambil buku kerja di kantor guru, sampai pemberian tanggung jawab pada kelompok ketrampilan. Dan sejak saat itu Waskito mulai menunjukkan sikap berunah ke arah yang baik. Mulai saat itu pula dan beberapa minggu seterusnya kelakuan Waskito terus membaik.
         Namun pada suatu hari kembali Waskito membuat ulah. Pada saat istirahat Waskito mengamuk dan menodongkan sebuah gunting ke temannya. Akibatnya teman-teman Waskito lari ke kantor guru. Guru-guru segera ke kelas Waskito. Akibat kesigapan guru-guru dan bu suci akhirnya gunting tersebut dapat diminta dari tangan Waskito.
         Peristiwa Waskito yang bermain-main dengan gunting itu menggoncangkan kepercayaan kepala sekolah kepada Waskito. Dan ternyata banyak guru yang mengusulkan agar Waskito dikeluarkan dari sekolah. Akhirnya, hari itu juga kepala sekolah mengadakan rapat untuk menentukan apakah Waskito dikeluarkan atau tidak.
         Dalam rapat itu ternyata banyak guru yang menginginkan Waskito untuk dikeluarkan. Tetapi bu Suci tetap berusaha mempertahankan Waskito untuk tidak di keluatkan dari sekolah itu . bu Suci sudah tahu dan sudah mengerti jiwa Waskito, makanya bu Suci berusah amempertahankan Waskito supaya tidak dikeluarkan. Bu Suci minta diberi waktu satu bulan untuk merubah sifat Waskito, jika dalam satu bulan itu bu Suci tidak berhasil maka Waskito dan bu Suci bersedia untuk keluar dari sekolah tersebut.
         Dan pada akhirnya bapak kepala sekolah memutuskan bahwa usulan bu Suci diterima. Setelah meninggalkan rapat bu Suci kembali ke kelas dan menjelaskan semua yang dirapatkan tadi, yaitu jika dalam satu bulan Waskito tidak berubah maka bu Suci dan Waskito akan keluar dari sekolah itu. Kemudian bu Suci memberikan nasihat-nasihat kepada muridnya sampai bel pulang berbunyi.
         Keesokan harinya ketika dia masuk kelas. Dia sangat senang karena Waskito duduk di depan. Dia juga melibatkan Waskito dalam berbagai kegiatan kelas. Dengan memberikan tugas-tugas dan Waskito selalu menuruti kemauannya. Yach hari itu Waskito bersikap baik sampai pelajaran berakhir dan pulang.
         Hari selanjutnya bu Suci lebih sering berada di dalam kelas, meskipun itu waktu istirahat. Dia ingin merasa murid-muridnya selalu diawasi dan diperhatikan, sehingga kedisiplinan murid-muridnyapun bertambah.
         Dalam setiap kegiatan apapun bu Suci selalu melibatkan Waskito dengan meminta bantuannya. Bahkan sering bu Suci meminta bantuan Waskito untuk mengantarkan makanan kepada anaknya yang sakit, yang kebetulan satu sekolahan juga.
         Pendekatan lain yang dilakukan bu Suci kepada Waskito adalah melakukan pembicaran-pembicaraan santai dengan Waskito. Dari pembicaraan itu bu Suci mengarapkan agar Waskito lebih terbuka mengenai masalah yang dihadapi didalam keluarganya.
         Demikian terus bu Suci mengadakan pembicaraan-pembicaraan kekeluargaan kepada Waskito. Hingga suatu hari pada akhir pembicaraan bu Suci berjanji kepada Waskito. Jika Waskito naik kelas maka Waskito akan diajak berlibur ke rumah asal bu Suci di kota kecil Purwodadi. Kota kecil yang menarik bagi Waskito, karena dia bisa menyalurkan kesenangannya yaitu memancing.
         Pada suatu siang setelah berunding dengan suaminya dan juga atas persetujuan dari budenya Waskito. Bu Suci membawa Waskito untuk main ke rumahnya. Dirumah bu Suci Waskito merasa lebih santai dan penuh kasih sayang. Dan pada saat itu Waskito sudah mulai gembira dan tertawa dengan renyah walaupun hanya sebentar.
         Hari-hari selanjutnya, Waskito semakin baik. Hubungan bu Suci dengan Waskito juga lebih terbuka didalam berunding dan berbincang baik berduaan maupun dihadapan orang banyak.
         Pada rapotan berikutnya ternyata rapot Waskito berisi angka-angka normal. Untuk itu bu Suci menghadiahi Waskito berlibur ke Purwodadi. Disana Waskito tampak senang sekali.
         Usaha bu Suci ternyata tidak sia-sia. Setelah liburan itu ternyata Waskito semakin membaik. Waskito mulai tekun dan menjadi anak yang normal, bahkan tampak Waskito ingin lebih dari itu. Waskito ingin menjadi  anak yang menonjol dan menang. Akhirnya dia menjadi salah seorang murid yang mempunyai kemampuan menonjol baik di kelasnya maupun di sekolahan. Pada akhir tahun pelajaran, ternyata Waskito naik kelas. Bu Suci senang sekali dengan hal itu.
         Memang itulah tugas guru. Seorang pegajar dan pendidik, seosang pahlawan yang tidak mengharapkan imbalan.
*****










HAFALAN SHOLAT DELISAH
Oleh : Tereliye

Pengarang                : Tereliye
Bentuk                       : Novel
Tahun terbit             : 2008
Tebal                          : 266 halaman
Tokoh utama           : Delisah
Tokoh pembantu     : Umi Salamah
                                      Abi Usman
                                      Aisyah
                                      Zahra
                                      Fatimah
                                      Ustad Rahman
                                      Koh Acan
                                      Tengku Umam
                                      Tiur
                                      Suster Shopi
                                     Prajurit Smith
Latar                          : di Lhok Nga, Rumah Delisa, Rumah Sakit Darurat, siang hari,                                          pengungsian, subuh.
Alur                            : Alur maju
                                     

Ringkasan.
Lhok Nga, Aceh, 24 Desember 2004
         Pagi itu Aisyah membangunkan adiknya (Delisa). Tapi Delisa tidak juga bangun. Setelah digelitiki kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah Delisa akhirnya bangun juga. Setelah itu mereka sholat subuh berjamaah.
         Hari itu tanggal 24 Desember 2004, umi Salamah mengajak Delisa pergi ke pasar untuk membeli kalung di tokonya koh Acan. Delisa senang, kalung itu sebagai hadiah buat Delisa apabila Delisa berhasil menghafalkan bacaan sholat. Selain itu abi Usman juga menjanjikan akan membelikan sepeda jika Delisa hafal bacaan sholatnya. Kak Aisyah iri dengan Delisa, dia ngambek. Lalu umi Salamah memberi nasihat kepada Aisyah supaya tidak iri dengan apa yang bukan milik kita, apalagi itu punya saudara kita sendiri. Aisyahpun akhirnya sadar dan minta maaf kepada uminya.
         Keesokan harinya Delisa seperti biasa, bermain bola dengan teman-temannya. Delisa suka sekali bermain bola. Dia tidak pernah mau menjadi penjaga gawang, dia selalu ingin jadi penyerang. Walaupun dia perempuan dia tidak kalah dengan laki-laki. Ditengah-tengah permainan tiba-tiba Tiur lewat dengan mengendarai sepedanya. Delisa memanggil Tiur, dia minta supaya dia diajari Tiur  naik sepeda. Delisa keasyikan bermain sepeda, dia pulang kesorean. Akhirnya delisa kena marah dari kak Fatimah.
         Esok harinya Delisa mengaji dengan Ustad Rahman. Ketika itu ustad Rahman menjelaskan tentang sholat yang khusyuk. Setelah selesai mengaji Delisa menghampiri ustad Rahman. Dia menagih janji kepada ustad Rahman. Ustad Rahman pernah berjanji, “Siapa diantara kalian yang bilang kepada uminya kalau kalian sayang umi karena Allah dan umi kalian menangis, akan ustad beri hadiah.” Delisa berhasil mengatakan kata-kata tersebut dan umi Salamah menangis. Delisa akhirnya mendapatkan hadiah coklat dari ustad Rahman.
         26 Desember 2004, hari itu adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat di seluruh Dunia. Hari itu adalah hari dimana gelombang besar menghantam Lok Nga dan Aceh. Dan hari itu dimana Delisa melaksanakan ujian hafalan sholat bersama bu guru Nur dan ustad Rahman. Sebelum berangkat ujian, pagi itu sempat ada gempa yang sangat dahsyat sekali. Tapi hanya sesaat saja. Setelah gempa selesai, Delisa dan umi Salamah berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian hafalan sholat.
         Tiur sudah selesai dengan hafalannya. Dan dia lulus. Kini giliran Delisa untuk maju memraktikkan dan menghafalkan bacaan sholatnya. Delisa ingat pesan ustad Rahman kemarin. Ketika kita sholat, sholatnya harus khusyuk. Fikiran kita cuma satu yaitu sholat. Walaupun disekeliling kita ada kegaduhan kita hanya terus berfikir satu “sholat”. Delisa pun kemudian hanya berfikir satu. Tiba-tiba ditengah hafalan Delisa, ombak besar datang dan menghabiskan semuanya. Semua lari menyelamatkan diri, tapi Delisa tetap diam ditempat. Dia terus saja meneruskan praktik hafalan sholatnya. Dia mencoba untuk berfikir satu. Dan Delisa pun hanyut dihantam gelombang tersebut.
         Berita stunami yang terjadi di Aceh telah sampai dipenjuru dunia, tak terkecuali abi Usman. Abi Usman yang saat itu bekerja di tengah laut dan mendengar berita tersebut, dia langsung minta cuti dan langsung pulang ke Lhok Nga. Dia bingung dan khawatir dengan keadaan keluarganya di Lhok Nga.
         Setelah sampai di Lhok Nga, abi Usman terkulai lemas. Lhok Nga telah rata dengan tanah. Semua telah lenyap di terjang ombak besar. Abi Usman berusaha untuk tegar. Dia lalu pergi ke pusat informasi dan ke pengungsian. Disana abi usman mencari informasi mengenai keluarganya. Fatimah, Aisyah, dan Zahra sudah meninggal dan mayatnya sudah dikubur. Kesedihan abi Usman bertambah dan dia terus menguatkan diri. Kini tinggal umi Salamah dan Delisa yang belum ada kabarnya. Abi Usman berharap kalau mereka berdua selamat. Abi Usman terus mencari informasi.
         Di rumah sakit darurat Delisa dirawat, disana hampir seminggu dia tidak sadarkan diri. Kaki kirinya di potong karena patah. Rambut Delisa di gundul, dan banyak jahitan di tubuh Delisa. Selama di rumah sakit darurat Delisa ditemani oleh prajurit Smith dan suster Shopi. Dia diajak bermain, di hibur, dan diajari banyak hal. Walaupun mereka sulit untuk berkomunikasi karena mereka berbeda bahasa.
         Kabar bahwa Delisa masih hidup sampai pada telinga abi Usman. Dia langsung pergi menuju rumah sakit darurat. Dan disana abi Usman berhasil menemukan Delisa. Dia senang sekali, begitu pula Delisa. Delisa senang bisa bertemu abinya. Delisa bertanya tentang kak Aisyah, kak Zahra, kak Fatimah, dan umi Salamah. Delisa sedih karena mereka semua tidak selamat. Lalu Delisa menceritakan semua kepada abinya, dia menceritakan kejadian waktu itu dari adanya gempa besar di pagi hari sebelum dia pergi ke sekolah untuk hafalan sholat sampai gelombang itu datang dan menghilangkan semuanya.
         Keesokan harinya Delisa sudah benar-benar sehat. Delisa dan abi Usman pulang ke Lhok Nga. Mereka mendirikan rumah baru dibekas rumahnya yang dahulu. Dan dia memulai kehidupan baru disana.
*****







5 Cm
Oleh : Donny Dhirgantara
Pengarang                : Donny Dirgantara
Bentuk                       : Novel
Penerbit                    : PT Grasindo
Tahun terbit             : 2005
Tebal                          : 381 halaman
Tokoh  utama          : Ian
                                      Zafran
                                      Riani
                                      Arial
                                      Genta
Tokoh pembantu     : Arinda
Latar                          : malam hari, siang hari, pagi hari, Ranu gumbolo, Rumah Arial,                                       warung bubur, stasiun senen, stasiun kota baru Malang, Ranu                                       pani,  Arcopodo, Kali mati, puncak Mahameru
Alur                            : Alur maju


Ringkasan.
            Malam itu mereka ber lima Zafran, Ian, Arial, Riani, dan Genta pergi ke warung bubur. Biasa, setiap weekend mereka nongkrong bareng disana. Setelah itu mereka main ke rumah Arial. Disana mereka selalu disuguhi singkong keju oleh mamahnya Arial. Ketika mereka berada di rumah Arial, Zafran yang sangat tergila-gila dengan Arinda adik Arial, akhirnya malam itu mereka bertemu. Kala itu Zafran tidak sengaja melihat G-sting yang dipakai Arinda. Jiwa puitis Zafranpun akhirnya keluar.
            Mereka berlima berkumpul di taman rumah Arial. Disana tiba-tiba Genta mengusulkan agar mereka tidak ketemu dulu selama tiga bulan. Genta mengusulkan hal tersebut agar supaya mereka tidak bosan karena mereka sudah sepuluh tahun bersama-sama dan mereka tidak punya teman lagi selain mereka ber lima. Akhirnya semuapun setuju. Mereka selama tiga bulan tersebut tidak boleh bertemu, tidak boleh berkomunikasi dengan cara apapun. Dan mereka akan berkumpul lagi pada tanggal 14 Agustus.
            Satu bulan telah berlalu. Mereka menjalani semua ini dengan mengisinya dengan kegiatan yang harus mereka selesaikan. Ian selama tiga bulan tersebut serius menyelesaikan skripsinya. Dan yang lainnya menyelesaikan tugas yang harusnya dia selesaikan.
            Akhirnya waktu itupun tiba. Seminggu lagi tanggal 14, waktu yang mereka tunggu-tunggu.  Hari itu Genta mengirim SMS kepada keempat temannya, “Selamat malam semua, gue kangen banget dengan kalian semua. Sumpah, tanggal 14 nanti kita bertemu di stasiun senen jam 2 siang, terus kalau ada acara dari tanggal 14 sampai 20 Agustus lo batalin dulu ya. Please. Ini yang harus dibawa, kalau gak punya pinjam ya. Kan masih ada waktu satu minggu buat mempersiapkannya. Carier, baju hangat yang banyak, senter dan baterai, obat, betadine, sepatu dan sandal. Kalau bisa mulai hari ini olahraga kecil-kecilan apalagi buat Ian, itu aja. Sampai ketemu di stasiun senen jam 2 ya. Genta yang lagi kangen.”
            Siang itu jam 2 siang tanggal 14 Agustus mereka bertemu di stasiun senen, setelah tiga bulan lamanya mereka berpisah. Tepat pukul 2 siang mereka berangkat. Oh iya, waktu itu Arinda adik Arial ikut berpetualang bersama mereka. Mereka ber enam menuju stsiun kota baru Malang Jawa Timur.
            Keesokan harinya mereka sampai di kota Malang. Hampir satu hari mereka berada di dalam kereta. Petualanganpun dimulai, setelah sampai di stasiun kota baru mereka langsung menuju daerah Tumpang. Tumpang adalah gerbang menuju daerah Semeru.
            Setelah menempuh perjalanan jauh, mereka sampai di daerah Ranupani. Ranupani adalah desa terakhir sebelum memasuki area pendakian. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Jalan yang mereka lalui sangat menantang. Tebing yang curam mereka lalui, tanah yang gempur mereka lewati, bebatuan besar dan angin yang kencang mereka terjang. Panas dan dingin mereka tantang.
            Perjalanan mereka sungguh penuh dengan pengorbanan. Dan akhirnya mereka sampai di Ranu gumbolo. Tempat itu adalah surganya Semeru. Disitu terdapat danau yang sangat jernih sekali airnya. Menggoda para pendaki untuk mampir ke tempat itu. Mereka ber enam Zafran, Ariel, Ian, Genta, Riani, dan Arinda istirahat sejenak di Ranu gumbolo.
            Setelah beberapa saat mereka bermain-main di Ranu gumbolo mereka melanjutkan pendakian menuju ke Arcopodo. Ketika berjalan menuju Arcopodo mereka melewati Kali mati. Di Kali mati mereka menjumpai hujsn abu vulkanik, itu menandakan kalau gunung Semeru masih aktif. Mereka terus berjalan menerobos hujan debu tersebut. Akhirnya merekapun sampai di Arcopodo pada malam harinya. Mereka bermalam di Arcopodo dan pada pukul dua dini hari mereka mulai mendaki di puncak Mahameru.
            Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Mereka melanjutkan pendakian. Kali ini mereka benar-benar mendaki. Mereka mendaki menuju puncak Mahameru. Malam itu di Arcopodo mereka sadar, mungkin mereka bisa tulis seindah mungkin dan berbicara setinggi langit tentang arti persahabatan. Tapi malam itu Mahameru memberikan arti yang sebenarnya tentang arti persahabatan.
            Dan atas nama persahabatan di tanah air tercinta ini. di tanggal 17 Agustus dimana sebuah impian menjadi layak untuk diperjuangkan. Mereka hanya perlu kaki yang berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekat yang seribu kali lebih keras daripada baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.
            Mereka mendaki di puncak Mahameru dengan melewati tebing yang sangat terjal. Ditengah pendakian Arial kedinginan dengan sangat. Suhu disitu hampir mencapai 0 . Melihat ke tegaran teman-temannya dan demi sahabatnya Arial mencoba untuk menghilangkan rasa dingin itu dan dia mencoba untuk bangkit. Merekapun akhirnya melanjutkan pendakian. Semakin atas medan yang mereka lalui semakin susah.
             Pagi pun tiba. Itu adalah matahari pagi di tanggal 17 Agustus. Beberapa langkah lagi mereka akan sampai di puncak. Dan akhirnya merekapun sampai di puncak Mahameru.
            Hari itu mereka berdiri di atas bumi tapi dekat sekali dengan langit, dekat dengan sang pencipta. Sebuah persahabatan, impian, cita-cita, dan cinta. Tidak ada yang bisa membuktikan seberapa besar itu semua. Tapi seperti sebuah mimpi. Mereka hanya bisa mempercayainya.
            Perjalanan di Mahameru itu bukan perjalanan alam tetapi perjalanan hati. Dan keindahan Ranu gumbolo membuat mereka untuk memutuskan menginap disana. Dan sekali lagi cinta membuktikan kekuatannya. Satu per satu mereka mempertanggung jawabkan impiannya. Ian akhirnya lulus kuliah. Gemta yang sering meeting di cafe, akhirnya mendirikan kantor yang sekaligus menjadi cafe. Dan Arial yang paling takut dengan cewek, ternyata dia  menikah duluan diantara mereka berlima.
            Sesuatu yang sederhana tapi luar biasa ada pada diri manusia bila dia meyakininya, sebuah impian. Setiap kamu punya mimpi, keinginan, atau cita-cita. Kamu harus taruh impian itu di depan kening kamu dan biarkan dia menggantung dan mengambang 5 cm di depan kening kamu. Dan kamu bawa impian itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Bahwa kamu akan berdiri lagi setelah kamu jatuh. Apapun hambatannya kamu bilang sama diri kamu sendiri kalau kamu percaya sama impian kamu dan tidak akan pernah menyerah.
            Belum pernah ada bukti-bukti nyata dalam angka yang bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Tentang bagaimana keajaiban sebuah impian, persahabatan, cinta, dan keyakinan bisa membuat begitu banyak perbedaan yang bisa mengubah kehidupan manusia. Hanya mimpi dan keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia menjadi sangat istimewa dimata sang Pencipta. Dan yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya. Percaya pada 5 cm di depan kening kamu.
*****








ULASAN CERPEN
A.        Jiwa – jiwa pemberontak
         Cerpen ini dikarang oleh Kahlil Gibran. Buku kumpulan cerpen Kahlil Gibran ini disadur oleh Saleh Gisymar dan diterbitkan oleh NAVILA. Cetakan pertama kumpulan cerpen Kahlil Gibran yang berjudul Jiwa –Jiwa Pemberontak ini pada tahun 2010 yang tebalnya mencapai xii + 148 halaman. Kumpulan cerpen ini berisi empat buah cerpen. Cerpen-cerpen tersebut berjudul Wardah Hani, Ranjang Pengantin, Jeritan Dari Liang Kubur, dan Khalil Si Bocah Kufur.
            Semua isi dalam cerpen ini berbau percintaan. Dengan dikemas dengan bahasa-bahasa yang indah dan apik. Cerpen ini menjadi lebih menarik untuk dibaca. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas salah satu cerpen yang ada didalam kumpulan cerpen ini. cerpen yang akan saya ulas yaitu cerpen yang berjudul “Ranjang Pengantin.” Nah, bagaimana isi dari cerpen ranjang pengantin tersebut. Berikut penggalan dari cerita tersebut...
            “MEMPELAI wanita keluar dari rumah peribadatan suci diikuti oleh pengiringnya, dibagian depan para pembawa lilin dan lampu, mereka semua bergembira ria. Disamping kiri dan kanan mempelai beberapa pemuda mengalunkan lagu dan tembang gembira.
            Arak-arakan itu sampai dirumah mempelai pria yang sudah dilengkapi dengan alat-alat perabotan mewah dan mahal, aneka hiasan yang indah dan wewangian yang semerbak harum. Kedua mempelai naik ke atas pelaminan yang tinggi, sedang para undangan duduk di atas permadani sutera dan kursi-kursi beludru. Ruangan yang luas itu penuh sesak oleh undangan dari berbagai kalangan. Para pelayan mulai mengedarkan minuman. Suara denting gelas beradu dengan gelas lainnya, bercampur dengan suara berisik sersuka ria. Para pemusik datang memainkan alat musik masing-masing. Alunan irama yang lembut memabukkan semua orang yang hadir. Menyusup lewat nada-nada syair yang menyatu dengan petikan gitar dan tarikan nada gemas serta tabuhan musik rebana.
            Beberapa gadis remaja maju membawakan tarian lenggak lenggok seiring nada lagu, tak ubahnya dahan-dahan kecil yang meliuk-liuk mengikuti hembusan semilir angin. Lipatan-lipatan baju mereka tersibak, memamerkan kulit putih yang halus seperti awan putih dipermainkan sinar rembulan. Semua mata memandang penari-penari itu. Mata-mata mereka tidak pernah berkedip. Para remaja ingin memeluk mereka, dna orang-orang tua merasa kembali muda lagi karena kecantikan penari-penari itu. Lemah gemulai penari membuat halus, semua prang minta tambah minuman, bahkan makan merekapun diguyur dengan arak.
            Gerakan-gerakan penari semakin panas. Suara-suara semakin berisik, kebebasan semakin menjadi-jadi dan suara tenang sudah menyingkir. Pikiran menjadi kacau, jiwa menyala dan hati mereka bergetar. Kini rumah itu seperti suara gitar putus senarnya, dan tidak diketahui siapa pemetiknya. Gitar itu dipetik dengan keras hingga melahirkan tembang paduan antara pantun dan suara gaduh. Disana ada pemuda yang melahirkan rahasia cintanya pada seorang gadis yang menawan hati. Ada pula pemuda yang mengajak idamannya untuk mengurai kata-kata manis. Para orang tua yang mereguk arak meminta para penyanyi mengulangi lagu yang membawa mereka teringat kembali masa remaja. Disaat itu pula ada gadis yang memberi isyarat dengan kerlingan mata pada pria yang memandang dengan bara cinta pada perempuan lain. Di pojok lain, ada wanita tua yang rambutnya sudah terbagi dua, memandang dan berusaha menggulung senyum pada pemuda yang berusaha memilih pasangan. Disamping jendela ada seorang istri mempergunakan kesempatan sebaik mungkin dengan seorang laki-laki yang telah mabuk kepayang padanya. Mereka semua mabuk dalam lautan arak dan cumbu rayu. Hanyut dalam gelombang kegembiraan dan suka-ria. Mereka lupa pada apa yang telah terjadi kemarin dan mengelana ke hari esok. Mereka terpaku mencari kesenangan sesaat.
            Waktu terus berlalu. Dan mempelai wanita yang cantik rupawan mengamati pemandangan ini dengan mata redup, bagai tawanan yang memandang putus asa ke tembok-tembok penjara yang kusam. Mempelai wanita itu terus memandang dari satu sudut ke sudut lainya. Dan di sana ada seorang pemuda dua puluh tahun duduk menyendiri diantara orang-orang yang larut dalam kegembiraan. Tingkah laku pemuda itu seperti seekor burung yang terluka sedang memisahkan diri dari kelompoknya. Tangannya bersidekap di dada. Seakan dengan tangan seperti itu dia berada antara suasana pesta dan kehendak untuk terbang. Dia memandang sesuatu yang tidak tampak di langit-langit aula. Seolah-olah zat nyatanya telah terpisah dari zat rasanya, lalu berenang di udara diikuti dengan bayang-bayang kegelapan.
            Malam terus merambat. Kegembiraan semakin meluap, pesta semakin gaduh. Otak mereka sudah digenangi arak yang membuat lidah mereka menjadi gagap. Mempelai pria bangun dari tempatnya. Dia orang tua yang berperangai kasar. Arak yang memabukkan sudah memengaruhi indranya. Dia berjalan sambil memaksakan kelembutan dan kehalusan dimata hadirin.
            Pada saat itu mempelai wanita memberi isyarat pada seorang gadis untuk datang mendekat. Gadis yang dipanggil itu mendekat dan duduk disampingnya. Setelah menengok ke segala penjuru dengan pandangan seseorang yang sedang cemas hendak mengeluarkan rahasia besar yang tersembunyi, mempelai wanita itu merapatkan tubuh ke gadis yang ia panggil, dan berbisik dengan suara bergetar.
            Susan bangkit dari samping mempelai wanita dan pergi menemui salim yang duduk gelisah menyendiri. Dengan lembut dia membisikkan kata-kata temannya, bukti-bukti cinta dan ketulusan yang tampak dalam cahaya dirinya. Salim menundukkan kepala. Dia mendengarkan dan tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Dan selagi ucapan susan sudah selesai dia memandang kepadanya, selaksana orang kehausan melihat gelas air di angkasa...”
            Dari penggalan cerita tersebut kita dapat melihat bahwa Gibran adalah seorang Humanis, sebagai pemeluk kristen maronit dia membebaskan diri dari belenggu eklufisme, dia melihat agama lebih dalam daripada ‘ajaran’ kaku dari kaum agamawan. Dan melalui karyanya dia memberontak kelaziman tatanan masyarakat yang sering disebut berdasarkan agama. Nilai-nilai luhur manusiayang diberikan Tuhan kepada manusia, yang ingin dikekang oleh kekuasaan raja atau politisi dan kaum agamawan, dia luruskan kembali.
            Cerpen Jiwa-Jiwa pemberontak ini merupakan terjemahan dari naskah bahasa arab, Al Arwah Al Mutamarridah. Cerpen ini pernah diterbitkan oleh Pustaka Mantiq, Solo. Cerpen Jiwa-Jiwa Pemberontak ini mampu memberikan pencerahan pada kita tentang hakikat agama dan kekuasaan, cinta dan kehidupan. Kedunguan telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi menjadi belenggu umat beragama. Sejarah sering menjadi saksi, kekuasaan agama dan politik sering bahu-membahu untuk membuat manusia menjadi dungu agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Bahkan dengan lantang dia menyerukan kebangkitan dunia Timur dari belenggu negara Barat, seperti dilukiskan dalam cerpenini,”...Kerakusan orang-orang Eropa, lalu sampai di mana kami harus berjalan? Kapankah kita sampai titik tujuan?”
            Kahlil Gibran juga risau dengan konflik antar agama yang tidak berkesudahan, “Sampai kapankah salib akan menjauh dari bulan sabit dihadapan Allah?.” Kata-kata Gibran terus mengalir bagai embun kesejukan. Sudah hampir seratus tahun buku Jiwa-Jiwa Pemberontak ini diterbitkan, dan terus dicetak ulang dan diterjemahkan hingga sekarang ini. penulis manakah yang mampu melakukan hal ini?. penyair manakah yang mampu menyihir pembacanya seperti ini?. kebesaran Gibran tidak pudar walau dia setengah abad lebih terkubur dalam keabadian.
            Ditinjau dari pendekatan karya sastra yang dapat dilakukan , karya sastra ini dapat dilihat dengan pendekatan sosiologi sastra. Dari isi karya sastra ini dapat kita lihat karya ini berkaitan dengan masalah sosial yang ada di zaman dahulu. Selain itu cerpen-cerpen dalam karya sastra ini banyak sekali kata-kata yang di devamiliarisasika. Oleh karena itu dapat kita simpulakan kalau Gibran ada sejak masa formalisme Rusia.



B.    Leak di Bukit Pecatu
            Kumpulan cerpen ini dikarang oleh I Gusti Putu Samar Ganteng. Cerpen ini diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar Bali pada tahun 2005. Cerpen ini menyajikan cerita dalam dua bahasa, yaitu: bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dari disajikan dengan dua bahasa tersebut kita dapat melihat kalau pusat Balai Bahasa Denpasar di Bali bermaksud untuk melestarikan bahasa daerah mereka yaitu bahasa bali atau bahasa jawa kuno.
            Buku kumpulan cerpen ini tersusun atas dua belas cerpen. Cerpen-cerpen tersebut diantaranya adalah  Leak di Bukit Pecatu, Sang Bayu Mengiring Kepergian, Pak Putu Joni, Kursi Roda, Oh Diani, Semanis senja di Pantai Kelating, Rindu-Rinduku Pada Bali, Sakit, Puisiku Puisimu, Hujan Sore, Nan Kocong, dan Demi Masa Depan Kami. Kedua belas cerpen ini disajikan dengan dua bahasa.
            Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas cerpen yang berjudul Demi Masa Depan Kami. Saya memilih cerpen ini karena ceritanya yang paling menarik dari kesebelas cerpen yang lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai cerpen yang berjudul Demi Masa Depan Kami, marilah kita simak penggalannya...
            “Siang hari bolong, kukayuh sepeda Phoenixku pelan-pelan. Lalu lintas ramai dipadati siswa-siswa pulang sekolah. Biasanya sampai dirumah aku berbasah keringat, namun siang hari itu tidak. Lembut angin berhembus, gemerisik nyiur melambai sepanjang jalan, menjinakkan terik sang bagaskara.
            Aku jadi teringat masa lalu, masa SMA. Sebuah stimulus yang cukup getir bersama Yeye Nathele sobat kentalku. Teman-teman sekelasku menjuluki kami Galih dan Ratna. Mungkin aku sering memboncengi Yeye Nathale. Entahlah. Yeye Nathale lebih aman berboncengan sepeda jengki Phoenizku, padahal aku berusaha menghindar. Papinya Yeye Nathale galak benar. Yeye Nathale tidak pernah mau dijemput oleh Corona papinya. Itu tidak mencerminkan hidup sederhana, demikian protesnya. Ini cukup mengherankan kawan-kawan, tapi aku cukup memaklumi perasaannya. Dan yang lebih mengherankan, sepeninggal mami Yeye Nathale, papinya semakin tak acuh padanya. Lebih lagi Yaya Borange kakaknya. Polah papi Yeye yang doyan berfoya-foya dengan perempuan cantik molek di Villanya dan polah Yaya Borange yang kerajinan kebut-kebutan dengan trailnya, membuat maminya sakit hati dipitas dukana yang berkecambah.
            Yaya Borange sering mabuk-mabukan dengan grup Mapendosnya, terkadang sampai pagi. Suara musik hingar-bingar. Mereka berdisko, bergoyang dengan acak-acakan dengan hentakan-hentakan yang menghanyut erotis, membikin Yeye Nathale pusing tujuh keliling. Mana tahan hidup di rumah tangga yang semrawut gitu. Aku jadi iba dan kasihan pada Yeye. Bila sudah demikian keadaan Yeye dia pasti datang kepadaku, orang tuaku sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. rumahku letaknya diluar kota, jauh dari kebisingan dan polusi udara di bibir pantai dekat muara sungai. Tempat tinggalku strategis. Sepi dan damai. Debur ombak berkecopak.
            Lengking camar laut memburu mangsa riuh burung-burung mungil kembali ke sarang waktu senja serta jingga langit di ufuk barat adalah panorama klasik sepanjang zaman.
            Bagi kami yang sejak kecil bersahabat dan bahkan dari cicit ada pertalian darah. Kekayaan bukanlah kebahagiaan, apalagi kalau kekayaan bukan hasil dari keringat sendiri. semasa kanak kami acap main gundu-gunduan atau berlari-lari anjing di bibir pantai berburu kepiting. Semenjak bertahun tinggal di kota dan papinya berhasil jadi pengusaha, kaya raya. Lingkungan hidup membelenggu kebiasaan serba keras dan egois.
            Suasana gotong royong dan tanggung jawab bermasyarakat dikikis oleh uang. Uang diatas segala-galanya. Prinsip kota ini begitu memprihatinkan. Yaya Borange hanyut dalam samudera kota, hanyut dalam alam modernisasi. Lupa dengan cikal bakal bunaya tradisional. Sok kreatif. Lupa hukum adat ketimuran. Pendidikan jasmani dan rohani, sekolah tidak berimbang. Yaya Borange hanya sehat secara jasmani, rohaninya nol besar. Inilah yang membuat kami belajar mati-matian, demi cita-cita dan masa depan. Cita-cita kami sederhana saja. Aku bercita-cita menjadi guru yang baik, Yeye bercita-cita menjadi polwan. Angan dan cita-cita kami berbaur. Dan kami bertekat berjuang apapun hambatannya. Kami menghadapi problema berbeda, tapi sama-sama pelik. Yeye garis belakangnya goyah, tapi garis depanku lumayan encer. Dengan kemauan dan usaha aku indekos di rumah Yeye. Sekolah bergerilia pula aku seperti kakak beradik kandung saja...”
            Itu tadi adalah penggalan cerpen Demi Masa Depan Kami. Dari cerita tersebut kita dapat melihat bahwa pengarang mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat Bali yang sekarang ini melupakan tradisi lokal Bali. Mereka terlalu hanyut dalam alam modernisasi. Cerita tersebut juga non komunikatif. Walaupun menggunakan bahasa Indonesia, tapi susah untuk dipahami.

C.  Gadis Halusinasi
            Kumpulan cerpen yang berjudul Gadis Halusinasi ini adalah karangan para FLP Pekalongan. Buku kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh PT Lingkar Pena Kreativa Depok pada Agustus 2004. Buku kumpulan cerpen ini tebalnya mencapai 148 halaman dan terdiri atas dua belas cerpen. Diantara cerpen-cerpen tersebut adalah Ketika Hujan Menyapa karangan Aveus Har dan N. Dien, Denia Anak Pengemis karya Aveus Har, Ibu karya Nr. Ina Huda, Lele karya Nr. Ina Huda, Gadis Halusinasi karya Khairul Huda, Kisah Sandal Jepit karya Khairul Huda, Dua Sisi karya N. Dien, Petungan karya N. Dien, Sebuah Titipan karya N. Dien, Di antara Dua Kutub karya Purwandi T. Darsiyan, dan Prika karya Purwandi T Darsiyan.
            Cerpen-cerpen yang ada di dalam buku kumpulan cerpen Gadis Halusinasi ini seakan-akan menghipnotis pembacanya untuk terus membaca sampai habis. Cerita dalam cerpen ini membuat penbaca terus penasaran dengan cerita-cerita yang disajikan. Setelah membaca cerpen ini hatiku tersentuh untuk mengulas cerpen yang berjudul ketika Hujan Menyapa. 
            Ketika membaca cerpen yang berjudul Ketika Hujan Menyapa seakan – akan kita merasakan apa yang ada didalam cerita tersebut. Penggambaran suasananya sangat terasa nyata dan membawa pembaca larut dalam alur cerita tersebut. Bahasa yang digunakan sangat komunikatif dan mudah dipahami. Ceritanyapun disajikan dengan rapi dan apik. Sehingga pembaca tidak bosan. Untuk lebih jelasnya mengenai isi dari cerpen Ketika Hujan Menyapa, mari kita membaca beberapa penggala ceritanya...
            “ Hujan, butiran bening itu bagai tumpah dari atas langit. Menderikan bunyi tik-tak dan gemuruh angin yang menyerta. Dari balik jendela kaca, sepasang mata Lis memandangi jatuhnya butiran itu, sesekali kepalanya menengadah pada langit berselaput kelam. Desahan napasnya terhela panjang berulang.
            Gadis itu duduk lesu dengan sesekali menahan nyeri di kepalanya. Ditatapnya buku agenda yang tergeletak dipangkuannya. Hari ini mestinya dia datang ke sekretariat organisasi karena dia menjabat sebagai ketua. Sebagai leader yang mestinya tampil didepan untuk perjuangan. Namun, hujan di luar sana seperti tidak mau bersahabat dan berkompromi, bahkan kian menjadi.
            Rasanya sekujur tubuhnya melarang Lis untuk beranjak dari kamar kosnya. Meski nuraninya mendorong untuk melaksanakan tanggung jawab. Diantara kebingungan yang melanda, tiba-tiba ponselnya berdering. Sejenak ditatapnya nama Izza di layar ponsel itu.
            Hujan belum juga usai.
            Lis memaku ditepi kusen jendela yang menghadap ke jalan. Kesibukan disana masih berlangsung. Orang-orang yang berlalu lalang dengan payung ditangannya. Pengendara motor dengan jas hujannya. Atau abang becak yang hanya mengenakan plastik bekas ala kadarnya sebagai penutup tubuh dari kebasahan. Semua masih berlangsung, semua tak berhenti dari derasnya hujan.
            Lis memandang arloji dan terus mewadahi putaran detik. Membayangkan acara peluncuran kumcer yang akan berantakan, atau bahkan gagal  karena ketidak hadirannya. Mereka pasti tengah menunggu. Tapi hujan tak juga beranjak usai...”
            Itu tadi penggalan dari cerpen Ketika Hujan Menyapa. Menarik bukan, Ceritanya disusun serapi mungkin, bahasa yang digunakan juga mudah difahami oleh masyarakat awam. Dan ceritanya yang tidak membuat pembaca bosan. Sungguh suatu karya yang luar biasa.







ULASAN PUISI
1.  Puisi – Puisi dari Penjara
            Kumpulan puisi ini adalah karya S. Anantaguna. Diterbitkan oleh Ultimus pada Januari 2010. Dalam buku kumpulan puisi ini terdapat 25 puisi. Puisi-puisi tersebut antara lain: Suatu Malam Tahun 60-an, Cinta 1, Cinta 11, Cinta 111, Pertanyaan Diri, Kertas Rokok, Sisi yang Cerah, Catatan, Kertas Bekas, Teka-Teki Tembok, Impian, Bukan Teka-Teki, Interogasi, Istirahat, catatan dalam ingatan, Canda Hari Pertama, Puncak Malam, Siapa Penjahat?, Malam Bulan Purnama, Seorang Buangan, Suara Dinding Penjara, Kisah Sepatu, Lagu Tanpa Nada, Yang Diburu Juga Memburu, Kepedasan Hidup, dan Gerimis.
            Semua puisi-puisi Sabar Anantaguna dalam bukunya ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi razim Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh dengan darah rakyatnya sendiri. yang dihasilkan Anantaguna ini sungguh luar biasa; suara yang dikeluarkan seperti suara nabi. Kehidupan S. Anantaguna di dalam penjara itu seperti kehidupan yang sudah berada di ujung tabir antara hidup dan mati. Ini bisa kita lihat dari puisinya yang berjudul “Yang Diburu Juga Memburu”

Yang Diburu Juga Memburu

Mimpi yang ditimang
Malam dengan bintang

Mimpi yang diemban
Malam pesta bulan
Mengadu rindu

Hati digoncang batin antara hidup dan mati
Diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati

Mimpi yang diayun
Angin bau embun
Mimpi sesah
Angin dari lembah
Menambah indah

Di bumi sepi diburu hidup dan mati
Menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi
            Puisi ini menggambarkan betapa batas antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang manusia merasa diburu kematian, tetapi terkadang juga manusia memburu kematian jika berada pada titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian indah jika harga diri sebagai manusia terlanjur disampahkan.
            Lahirnya puisi-puisi dari penjara S. Anantaguna ini menjadi bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagian besar puisi Anantaguna yang diproduksi dalam penjara-penjara dan buangan ini, semula saya duga akan menimbulkan kelelahan bagi pembacanya. Dalam salah satu sajaknya Anantaguna menulis:

Penjara itu keterbatasan
Keterbatasan itu penjara

(dari sajak: “Catatan dalam Ingatan”)

            Sebuah pernyataan puitis dan puisi yang berfilsafat. Dengan pernyataan ini , Anantaguna telah lebih meluaskan arti dan pengertian tentang penjara itu sendiri. kita akan cepat merasa, dalam sebuah negara yang tidak atau kurang demokratis, adalah juga sebuah penjara besar atau negara penjara. Tapi penjara yang lebih kecil, yang dalam sel-sel yang kotor dan berjeruji besi yang pernah didiami Sabar Anantaguna, keterbatasan itu mempunyai arti yang lebih mutlak, lenih berkesan. Namun Sabar menganggap jeruji-jeruji besi yang mengurungnya adalah juga tali-tali kecapi yang dipetiknya setiap hari, begitu akrab, begitu merdu yang mengalahkan suara bentakan para sipir, interogator, bahkan rontaan teman-temannya yang disiksa dan siksaan terhadap dirinya sendiri. di sini kita merasakan kekuatan puisi di luar puisi itu sendiri.
            Dalam kumpulan sajak Anantaguna ini saya menemui banyak persinifikasi yang menggelora yang adalah juga metafora penghias segar dan menarik dalam banyak puisi-puisinya. Tapi tidak hanya itu. Sinisne Sabar bertebaran disana-sini tapi tidak menimbulkan antipatik atau iritasi pada pembacanya. Dan sinisme itu juga adalah sebagai pengganti makian besar atau kutukan pada musuh yang kejam dan biadab. Namun sinisme Sabar terasa mempunyai kekuatan magis meskipun juga tidak sengaja mengajak orang lain berpihak atau bertimbang rasa padanya.

2.  Ayat –Ayat Api
            Ayat-ayat api ini adalah kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus pada tahun 2000. Buku kumpulan puisi ini berisi 57 puisi dan tebalnya mencapai 149 halaman. Diantara 57 puisi itu adalah: Ruang ini, Catatan masa kecil, Aubade, Di depan pintu, Aku tengah menantimu, Garis, Pagi, Sehabis percakapan, Kamar, Percakapan, Sajak dalam tiga bagian, Jaring, Sunyi yang lebat, Salamku matahari, Sepasang lampu beca, Dongeng marsinah, Bunga randu alas, Tentang mahasiswa yang mati 1996, Yang paling menakjubkan, Iklan, Kelereng, Ibu, Tiga sajak ringkas tentang cahaya, Hawa dingin, Adam dan hawa, Memancing, Ruang tunggu, Terbaring, Tiga sajak kecil, Layang-layang, Rumah om yos, Ayat-ayat tokyo, Ayat-ayat kyoto, Tukang kebun, Pada suatu maghrib, Jakarta juli 1996, Sajak, Pertanyaan kerikil yang goblok, Dongeng kucing, Dalam setiap diri kita, Sebelum fajar, Buku cerita anak, Sonet: entah sejak kapan, Sajak-sajak kecil tentang cinta, Ia tak pernah, Tentu kau boleh, Pohon ditepi jalan, Sonet: kau bertanya apa, Kata 1, Kata 2, Pokok kayu, Ada pohon bernapas, Akik, Ayat-ayat api. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas tentang puisi yang berjudul “Aku Tengah Menantimu”. Berikut ulasannya:

AKU TENGAH MENANTIMU

Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis ; ada yang mendadak
sepi
Di tengah-tengah riuh bunga alas dan kembang turi aku pun
menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa di tunggu begitu lama
(Ayat-ayat Api, hal. 9)

            Dilihat dari judulnya, sajak Aku Tengah Menantimu merupakan simbol dari individualitas atas kesabaran, dan keteguhan akan kekuatan rasa yang ada dalam diri seorang penyair. Kata Aku Tengah Menantimu mencerminkan kekuatan keyakinan kesabran yang diemban. Aku Tengah Menantimu juga bisa dimaknakan bahwa keteguhan dan keyakinan dengan penantian yang dilakukan si aku suatu saat akan menuai hasil atas penantian yang dilakukan walaupun itu membutuhkan waktu yang begitu lama. Toh pun bagaimana hasilnya dibelakang hari, yang di tunggu-tungu tak kunjung datang juga, yang penting kesabaran untuk menanti dan harapan selalu ada dan tertanam kuat dalam diri penyair, itulah yang menjadi alasan dasar terhadap keyakinan kesabaran atas penantian yang dilakukan si penyair.
            Bait 1 //aku tengah menantimu//, penantian akan baliknya seorang kekasih hati tengah dilakukan dengan begitu sabar telah menanam harapan yang begitu besar dan jauh di dalam hati bahwa kekasih yang di tunggu suatu ketika akan datang, si penyair tak perduli mesti beberapa lamakah ia harus menunggu, dan tak terasa dalam penantian yang dilakukan waktu terus berdialektika, musimpun demikian datang silih berganti, entah itu musim dingin atau musim kemarau yang membuat //bunga randu alas menjadi mengejang//, dan kini musim kemarau sudah di akhir penghujung //di pucuk kemarau yang mulai gundul itu//, namun penantian seorang penyair terhadap kekasihya terus dilakukan yang akhirnya menjadikan //berapa juni menguncup, dalam diriku dan kemudian layu// padahal rasa kesabaran dan keteguhan dalam diri penyair terus dijaga //yang telah hati-hati kucatat// untuk melakukan penantian akan baliknya sang kekasih, (tapi) diluar kehendak seiring dengan terpaan cobaan yang begitu banyak, baik dari dalam diri penyair maupun dari luar pribadinya/lingkungannya yang kian terus menghantam dan membuat kesabaran menjadi pudar //diam-diam terlepas//.
            Bait 2. Mungkin dalam resah penantian yang dilakukan penyair, dia tidak menyadari bahwa //awan-awan kecil selalu melintas di atas jembatan itu//, karena si aku/penyair tak menghiraukan apa yang ada di sekitarnya, karena si aku/penyair terus bersabar dengan penantian baliknya sang kekasih didekatnya, si penyair tetap berkata disini (aku) masih tetap (menantimu) menunggu kadatangannmu, walau kini penantian yang kini begitu ini membuat //musim telah mengembun diantara bulu-bulu mataku//, lantas kemudian //kudengar berulang// kali //suara gelombang// jeritan hati //memecah udara//, hingga membuat //nafsu dan gairah// menunggu kepulanganmu telah //telanjang disini//, bintang-bintangpun mulai menjadi gelisah dengan penantian yang dilakukan penyair akan kembalinya seorang kekasih.
            Bait 3. Dalam penantian yang begitu lama yang dilakukan oleh si penyair //telah membuat rontok kemarau-kemarau yang tipis//; dan tiba-tiba dalam penantian ada keresahan dan kegelisahan, bahwa kekasih yang dia tunggu-tunggu tidak akan pernah balik telah membuat hati penyair mendadak menjadi (sepi). Kesepian hati itu pun bergumul //di tengah-tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi//, namun si aku/penyair tidak perduli dengan segala riuh dan halangan serta penderitaan yang dialami, di tempat penantiannya si aku akan tetap menunggu baliknya seorang kekasih, //aku pun masih tetap menantimu disini//, si aku tetap sabar dan masih tetap berdiri tegak dalam keyakinan bahwa kekasih yang dia tunggu-tunggu pasti akan datang, walaupun //barang kali semakin jarang awan-awan// hitam dan putih itu //melintas di sana dan tak ada//, mungkin kau kekasih yang kun anti-nanti akan datang, akan tetapi sekian lama aku menungggu (kau pun), tak kunjung-kunjung datang juga //yang merasa ditunggu begitu lama//.
               Pada puisi Aku Tengah Menantimu ini, penyair membuka sajaknya dengan bait : Aku tengah menantimu, Mengejang bunga randu alas, Dipucuk kemarau yang mulai gundul itu,...
               Ini menandakan bahwa si aku / penyair saking teguh pendiriannya dan begiru sabar dalam penantian, sampai-sampai si aku/ penyair tidak perduli harus berapa lamakah ia mesti menunggu akan datangnya sang kekasih. Dia juga sadar bahwa sebuah perjuangan tidak selamanya berhasil, karena terkadang sesuatu yang kita lakukan tidak selamanya akan menuai hasil yang baik, kadan-kadang hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, namun dia tetap saja menunggu dengan begitu. Dan karena kesabaran penantian dan keyakinan yang sudah di tanam kokoh jauh di dasar hati oleh si aku, sehingga dia tidak pernah memeprdulikan harus berapa lamakah ia mesti menunggu dan berada dimanakah dia pada saat itu, penantian yang dia lakukan dengan begitu sabar sudah berjalan begitu lama ini di tandakan dengan “walaupun musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku dan kudengar berulang suara gelombang udara memecah”, si aku menggunakan bahasa yang sangat-sangat mendalam akan kesabaran terhadap penantian yang dia lakukan. Dari penantian yang dilakukan si aku begitu banyak terpaan cobaan, rintangan dan halangan yang dihadapi sang penanti (si aku/penyair), dan itu akan melahirkan kesabaran mulai pudar dan rasa sakit membuat hati goyah dan akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat terhadap perasaan si penyair. Namun si penanti (si aku/penyair) tidak menghiraukannya, dia tetap saja menanti kekasihnya yang di harapkan suatu saat akan datang.
               Di bait terakhir si aku menegaskan prinsip akan kesabaran tentang penantian yang dia lakukan “bahwa barang kali semakin jarang awan-awan melintas di sana dan tak ada, kau pun, yang merasa di tunggu begitu lama”. Dari segi bentuk atau tipograpinya, puisi aku tengah menantimu di atas berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya yang di tulis oleh penyair angkatan pujangga baru. Tipograpinya lebih bebas. Hal ini juga bisa dimaknakan bahwa penyair adalah seorang yang teguh pendirian terhadap keyakinan yang dia miliki tidak akan mudah luluh dan lekang oleh waktu dan musim. Dari segi pemilihan kata atau diksi, puisi aku tengah menantimu di atas, semangat individualitas dan kesabaran serta keyakinan akan penantian baliknya seorang kekasih yang dia lakukan banyak di tandai dengan pemilihan kata seperti : aku tengah menantimu (bait 1), aku menantimu (bait 2), ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti (bait 3). Bahasa-bahasa puisi adalah bahasa-bahasa yang mengandung ambiguitas, multi tafsir. Begitu juga dengan puisi aku tengah menantimu di atas.
               Pada bait 1 terdapat kata /di pucuk kemarau/. Kata ini bisa diartikan dengan akhir musim kemarau atau kemarau akan berhenti dalam penantian. Begitu juga dengan kata /menguncup/, bisa di artikan sesuatu yang akan pudar, atau bahkan hampir hilang dan melemah akan suatu keyakinan rasa yang telah di tanam dalam diri. Dan /telah hati-hati kucatat/ bisa diartikan kesabaran yang dia jaga yang selalu di tanam jauh dalam hati dan menjadi penggairah akan penantian yang dia dilakukan. /diam-diam terlepas/ bisa diartikan bahwa itu diluar kehendak dan kemampuannya untuk menjaga sesuatu yang ada dalam diri, seiring dengan waktu yang selalu berubah-ubah dan musim bergonta-ganti dalam penantian yang begitu panjang telah membuat keyakinan akan baliknya sang kekasih menjadi hilang.
               Pada bait 2 dikatakan /musim telah mengembum//diantara bulu-bulu mataku/ bisa dimaknakan bahwa sangat begitu lama dia berada dalam penantian, sehingga dia tak sadar musim datang silih berganti dan cuaca selalu berubah-ubah. Dan ketika /nafsu dan gairah telanjang disini/ bisa dimaknakan bahwa rasa kesabaran akan penantian yang dia lakukan begitu terbuka hingga diketahui oleh semua orang namun tidak diumbar.
               Pada bait 3 kata /telah rontok kemarau-kemarau yang tipis/ ini bisa diartikan kalau penantian yang dia lakukan, tidak pernah berubah dan goyah walaupun muism terus berganti dari satu musim ke musim yang lainnya. Dan kalimat /di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi/ bisa diartikan sebagai sebuah kegalutan hati akan penantian yang dilakukan karena saking begitu lamanya dia menunggu dan terus menunggu, walaupun orang yang dia tunggu tak kunjung datang juga, karena mungkin saja orang yang dia tunggu entah berantah berada dimana atau berada di tempat yang sangat jauh atau mungkin sudah mati, sehingga dalam penutup sajak ini berbunyi /kau pun yang merasa di tunggu begitu lama/.
               Pada puisi aku tengah menantimu banyak digunakan gaya bahasa, sarana retorika, juga citraan yang berfungsi untuk lebih mengkongkritkan gambaran tentang yang ingin disampaikan oleh penyair. Di antaranya : Berapa juni saja menguncup dalam diriku,...
               Kata berapa juni saja ini mengambarkan tentang penantian yang begitu lama dan menguncup dalam diriku merupakan bahasa perumpamaan yang mencoba menggambarkan tentang hati yang mulai resah atas penantian si aku lakukan. Musim telah mengembun di bulu mataku Kata ini sebagai kata perumpamaan yang dipakai oleh si aku untuk menggambarkan muism demi musim yang telah di lewati, semuanya dalam penantian si aku.

ULASAN NASKAH DRAMA
Bajingan Negeriku.
            Naskah drama yang berjudul Bajingan Negeriku ini adalak karya Maulana Alfiansyah. Naskah ini ditulis pasa 16 Juni 2012. Naskah drama karya Alfiansyah ini sangat menarik karena ini adalah naskah drama musikal. Isinya adalah kritikan terhadap penerintahan di Indonesia. Drama ini seakan-akan menggambarkan kehidupan di Indonesia, khususnya kehidupan rakyatnya. Dengan selingan lagu-lagu yang sangat pas membuat naskah drama ini semakin hidup.
            Naskah ini menggambarkan sebuah negeri yang dipimpin seorang presiden, yang mana presiden tersebut tidak maksimal dalam menjalankan amanatyang diberikan oleh rakyat kepadanya dan bisa dibilang jelek dalam menjalankan kepemimpinannya. Akhirnya setelah dilakukan perjuangan-perjuangan oleh rakyat negeri tersebut, akhirnya presiden tersebut lengser, dan kemudian digantikan dengan presiden yang baru. Para rakyat negeri tersebut, merasa bahagia karena telah tergantinya presiden tersebut. Mimpi-mimpi tentang kesejahteraan hidup, mulai muncil kembali dibenak masing-masing penduduk negeri itu.mereka sangat berharap presiden selanjutnya bisa menyejahterakan rakyatnya dan bisa menghilangkan krisis-krisis yang terjadi saat itu.
            Namun ternyata dalam kepemimpinannya, presiden yang baru rupanya lebih buruk dari yang sebelumnya. Banyak kasus-kasus korupsi, ketidak adilan, janji-janji palsu, kriminalitas, dan kesombongan pangkat tumbuh subur di negeri tersebut. Rakyat yang semula bahagia dengan harapan-harapannya, kini akhirnya sadar, bahwa mereka telah lama ditipu. Para rakyatpun sudah merasa muak dengan ketidak adilan yang mereka rasakan. Rakyat-rakyat miskin ditelantarkan, rakyat-rakyat yang melawan dibasmi habis oleh aparat-aparat yang disuap untuk membunuh para rakyat yang berani memberontak, dan uang-uang pajak hingga kebutuhan umum dinaikkan hingga tak bisa lagi dijangkau lagi oleh rakyat-rakyat kecil.
            Para orang-orang kaya semakin gila jabatan dan yang miskin menjadi sasaran kebiadapan. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Akhirnya setelah rakyat sudah putus asa dengan perjuangan-perjuangan, karena sudah banyak korban yang berjatuhan, muncullah orang yang berjiwa reformasi berjuang menegakkan keadilan di tanah airnya. Perjuangan-perjuangan dilakukan, pemberontaan, hinaan, dan paksaan untuk pengunduran diri dilakukan dari berbagai media.
            Ketika presiden negeri tersebut merasa kalau orang yang berjiwa reformasi tersebut dapat mengancam kedudukannya, maka dilakukan pemburuan terhadap orang tersebut, yang akhirnya orang tersebut tertangkap bersama para reformer lainnya, dan dipenjara untuk akhirnya dihukum gantung didepan umum.
            Ketika kematian seorang reformer tersebut, negeri tersebut sudah hilang semangatnya, sehingga presiden semakin bebas di negeri tersebut, krisis-krisis datang berkepanjangan dan rakyat-rakyat semakin menderita. Negeri tersebut masih menantikan jiwa-jiwa pemuda yang berani berkata ketika semua dipaksa diam, berani berbuat ketika semua dihadapkan pada pistol-pistol, negeri tersebut masih berharap bahwa masih ada jiwa-jiwa reformer yang akan tumbuh pada anak-anak bangsa, dan akan menegakkan keadilan rakyatnya juga membasmi para pendusta rakyat yang berkeliaran.
            Itu tadi adalah gambaran umum dari cerita yang disajikan dalan drama ini. dalam naskah ini penulis juga tidak segan-segan untuk menyantumkan kata-kata pedas untuk menyindir para penguasa. Walaupun tidak ditujukan secara langsung tapi ngena banget, contohnya saja kita bisa melihat dari judulnya “Bajingan Negeriku”. Sudah jelas banget kalau drama ini sebenarnya bertujuan untuk menyindir pemerintahan di Indonesia yang semakin lama semakin tidak baik. Korupsi, kolusi, dan nepotisme telah merajalela di Indonesia.

BY: NURUL KHABIBAH

0 komentar:

Posting Komentar