Jam

Senin, 07 April 2014



Nama      : Nurul Khabibah
NIM        : 2101413126
Alamat    : Tulungagung


Legenda Air Terjun Kandung
            Keindahan ekosistem kars di Tulungagung memang tak diragukan lagi. di kawasan hutan lindung di Kecamatan Rejotangan (kira-kira Desa Tanen, mungkin juga Sumberagung) terdapat sebuah air terjun batu kapur yang sangat elok, air terjun tersebut dikenal sebagai air terjun Kandung.
            Benar-benar sebuah mahakarya. Hijaunya lumut yang berpadu dengan rona batuan kapur, membuat air terjun ini begitu istimewa. Keelokannya semakin terpancar dengan adanya rerumputan yang menghiasi puncak air terjun. Dibawah air terjun dapat dijumpai dua buah kolam alami yang bertingkat. Airnya jernih keputihan menggoda siapa saja untuk berendam. Sekali lagi, air terjun Kandung benar-benar sebuah mahakarya yang tiada duanya.
            Perang batin pun mulai menghinggapi saya, “bagaimana asal mula air terjun ini dinamakan Air Terjun Kandung?.” Akhirnya saya mencari informasi tentang asal usul nama Kandung ini. Konon katanya tenpat ini ada hubungannya dengan Joko Kandung dari kerajaan Ariyo Blitar. Apakah benar rumor tersebut?. Mari kita simak cerita selengkapnya.
            Dari cerita Pak Kuat (Orang yang lahir dan besar di sekitar Air Terjun Kandung) menceritakan bahwa Joko Kandung adalah sebuah cerita sejarah kepemimpinan yang penuh dengan heroisme dan pertarungan antara kebenaran, kejujuran dan keadilan melawan kebatilan, keculasan dan ketidakadilan juga cerita kudeta kekuasaan berdarah. Legenda Joko Kandung adalah sejarah tentang Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I yang menjalankan kepemimpinan Kerajaan Majapahit dengan baik di Blitar. Nilo Suarno menikah dengan Dewi Rayung Wulan dan dianugerahi anak yang bernama Joko Kandung.
            Dalam perjalanan kepemimpinan Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Sengguruh Kinareja yang merupakan Patih dari Kadipaten Blitar. Pemicu pemberontakan adalah keinginan Patih Ki Ageng Sengguruh Kinareja yang ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan yang menjadi istri dari Adipati Ariyo Blitar I.
            Siasat busuk pun mulai disusun oleh Ki Ageng Sengguruh Kinareja dengan memberi nasehat kepada Nilo Suwarno atau Adipati Ariyo Blitar I untuk mencari ikan wader bersisik emas di aliran sungai yang menjadi aliran Air Terjun Kandung, untuk mengobati istrinya yang sakit dan di rundung duka. Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I tidak menduga bahwa itu hanya siasat busuk Ki Ageng Sengguruh Kinareja untuk mengakhiri hidupnya. Benar saja saat Nilo Suwarno atau Adipati Ariyo Blitar I sedang asik menuruni sungai dan mencari ikan wader bersisik emas tanpa di duga dari belakang Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I ditikam dari belakang menggunakan keris Cepret miliknya oleh Ki Ageng Sengguruh Kinareja dan para pengikutnya.   Dengan tipu muslihatnya itu akhirnya Ki Ageng Sengguruh Kinareja berhasil merebut jabatan Adipati dengan membunuh Adipati Nilo Suwarno. Setelah mengangkat dirinya menjadi Adipati Ariyo Blitar II, Ki Ageng Sengguruh Kinareja juga mengusir permaisuri Adipati Nilo Suarno yang sedang mengandung.
            Pak Kuat yang sepertinya mengalami atau hidup pada masa itu juga menceritakan bagaimana perjuangan Joko Kandung menuntut balas atas kematian ayahnya. Diceritakan bahwa Joko Kandung menyusun siasat untuk berada di dalam istana Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja. Melalui burung perkutut putih yang memiliki suara merdu dan merupakan simbol Kerajaan Majapahit yang menjadi buah bibir sampai ke istana Kadipaten Blitar akhirnya Joko Kandung dapat bertemu dengan Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja yang ingin membeli burung perkutut putih milik Joko Kandung.
            Joko Kandung mengabulkan keinginan Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja untuk membeli burung perkutut putih miliknya asalkan Adipati bersedia mengabulkan permintaannya agar dia yang tetap memelihara burung perkutut putih itu di istana Kadipaten Blitar.
            Singkat cerita, akhirnya Joko Kandung diangkat oleh Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja menjadi anak angkatnya dan diperkenankan untuk memilih senjata yang menjadi kesukaan Joko Kandung untuk dimilikinya. Pilihan Joko Kandung jatuh pada sebilah keris tanpa sarung yang diberi nama keris cepret dan Joko Kandung menanyakan sejarah dan riwayat mengapa keris itu tidak memiliki sarung. Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja menceritakan bahwa keris itu adalah milik Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I yang direbutnnya dan dipergunakan untuk membunuh Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I sehingga Ki Ageng Sengguruh Kinareja menduduki jabatan Adipati Ariyo Blitar II.
            Setelah mendengar penjelasan Ki Ageng Sengguruh Kinareja, Joko Kandung mengambil Keris Cepret dan mengatakan kepada Adipati Ki Ageng Sengguruh Kinareja bahwa dialah anak dari Nilo Suarno atau Adipati Ariyo Blitar I yang menuntut balas saat itu juga.
            Akhirnya Ki Ageng Sengguruh Kinareja tewas di tangan Joko Kandung dengan senjata pusaka Keris Cepret (keris tanda pemegang jabatan Adipati yang sah). Setelah Joko Kandung merebut kembali jabatan Adipati dan dianugerahi menjadi Adipati Ariyo Blitar III. Tetapi Joko Kandung tidak meneruskan jabatanya dan diserahkan kepada orang lain ia lebih memilih tinggal di alas atau hutan yang berada di perbukitan nan jauh. Joko Kandung menetap di hutan itu hingga dia wafat di hutan tersebut. Sekarang hutan tersebut dinamakan “Hutan Kandung” dan Air Terjun yang digunakan sebagai tempat pertapaan joko Kandung dinamakan “Air Terjun Joko Kandung.”
*****

Asal Mula Upacara Adat Baritan
Oleh : Nurul Khabibah

            Desa Lawadan yang sekarang tinggal cerita, besar sekali andilnya terhadap kabupaten Tulungagung. Dahulu, di desa ini ada ritual menyusui siluman buaya putih untuk mengusir bencana. Seperti apa kisahnya…?
            Di daerah Tulungagung banyak terdapat peninggalan sejarah purbakala. Sekitar 63 buah peninggalan berupa benda bergerak dan tidak bergerak. Di antaranya peninggalan tersebut adalah 26 prasasti, 24 diantaranya batu. Salah satunya adalah prasasti Lawadan. Karena terletak di Desa Lawadan, yang sekarang berubah nama jadi Wates Campurdarat.
            Prasasti yang bertanggal 18 November 1205, hari Jum’at Pahing tersebut dikeluarkan oleh Prabu Srengga, raja terakahir kerajaan Daha, yang juga dikenal dengan nama Prabu Dandanggendis. Prasasti tersebut berisi pemberian keringanan pajak dan hak istimewa semacam bumi perdikan atau sima.
            Alasan pemberian “hadiah” tersebut adalah karena jasa prajurit Lawadan yang sudah memberikan bantuan kepada kerajaan mengusir musuh dari timur, sehingga raja yang tadinya telah meninggalkan kraton dapat kembali berkuasa.Desa Lawadan yang sekarang tinggal cerita, besar sekali andilnya terhadap kabupaten Tulungagung. Makanya, ketika masih berwujud rawa, orang-orang di sana mudah mencari uang, yakni dengan cara mencari ikan yang dapat dijual dan jadi uang. Karena itu, pada umumnya orang-orang di sana semua kaya, rumahnya besar-besar, tiangnya kayu jati glendeng.
            Setiap pagi, sarapannya ikan bakar yang dimasukkan bumbung. Kalau istirahat siang, biasa tiduran di atas lantai yang terbuat dari sesek bambu. Uniknya, bisa tiduran sambil mengintip ikan yang berkejar-kerajan. Sorenya, sambil menanti matahari terbenam, dihabiskan dengan berperahu mencari bunga teratai dan kul.
            Sedangkan kalau mempunyai hajat apa saja, baik menikahkan atau mengkhitankan anaknya, hiburannya kesinian tayup. Terkadang tamunya siluman Bajul Putih. Karena siluman Bajul Putih itu kesenangannya menari dengan waranggana. Apalagi aturan tayup pada waktu itu bebas, minta gending atau lagu apa saja boleh, memasukkan uang ke sela payudara waranggana sambil memegangnya juga tidak dilarang. Apalagi kalau yang memasukkan uang tersebut siluman Bajul Putih, tidak ada waranggana yang tidak senang. Disamping mendapatkan uang, payudaranya juga bisa berubah jadi berisi, padat, kenyal, dan indah. Tapi sayangnya, tidak semua waranggana bisa mendapatkan hal ini. Konon, pada masa itu tidak sedikit waranggana yang sengaja membiarkan semua lelaki meremas-remas payudaranya. Bahkan tidak hanya itu, tapi juga ada yang sampai mau meneteki segala. Alasannya masuk akal, siapa tahu diantara lelaki itu siluman Bajul Putih.
            Kenapa bisa begitu? Konon menurut ceritanya, siluman Bajul Putih itu tidak hanya menyukai kesenian tayup, tapi juga suka dengan payudara yang masih kencang. Makanya, siluman Bajul Putih itu lebih suka memilih payudara waranggana yang masih perawan. Begitulah kisah-kisah di masa lalu.
            Ketika saya bermain kesana, ke bekas Desa Lawadan. Desa ini baru saja terkena musibah besar. Orang Jawa mengatakan “kena pageblub”. Pertengahan November 2007 kemarin, warganya sejumlah 170 orang, terkena penyakit chikungunya. Karena pageblug ini ada seorang warga yang usul kepada sesepuh desa agar mengadakan upacara ritual telanjang dada.
            Usulan tersebut agaknya karena terinspirasi pada kisah lama, sewaktu Desa Lawadan masih berwujud rawa. Bila kena musibah besar, cara mengatasinya gampang. Para wanita, baik yang masih perawan maupun yang sudah menyusui, berbondong-bondong pergi ke gundukan untuk mengadakan ritual telanjang dada.Konon, setelah wanita-wanita itu menyusui siluman Bajul Putih, musibah yang melanda desa pun langsung hilang.Begitu juga ketika prajurit Lawadan mengusir musuhnya. Isteri-isteri prajurit tersebut juga pergi ke gundukan untuk menyusui siluman Bajul Putih.
            Karena usulan tersebut, para sesepuh desa kemudian berkumpul. Setelah usulan tadi dimusyawarahkan, kemudian merancang ritual apa yang sesuai. Akhirnya disepakati kalau mereka akan mengadakan upacara ritual menyusui.Sebelum upacara ibu menyusui dilaksanakan, didahului dengan upacara sesaji yang dilaksanakan pagi hari. Yang membawa sesaji para gadis yang berpakaian bak putri kraton tempo dulu. Rombongan ini diarak keliling desa. Setelah itu, malamnya baru dilaksanakan upacara ritual ibu menyusui.
            Mereka tidak harus telanjang dada, hanya cukup tidak mengenakan BH. Sehingga dari belakang masih terlihat memakai baju. Tapi kalau dilihat dari depan, baru tampak payudaranya dibiarkan terbuka. Kemudian salah satu dari mereka ada yang mendapat bisikan halus, “Kalau ingin selamat, tolong semua warga mengadakan syukuran di perempatan jalan!”Maka dari itu, untuk memperingati lahirnya tahun Saka yang jatuh pada hari Kamis Pahing, tanggal 10 Januari 2008, oleh warga desa yang mengaku wong Lawadan, diadakan upacara adat baritan. Memang, setiap tahun, tepatnya pada tanggal 1 Sura, wong Lawadan yang tinggal di Desa Wates, kecamatan Campurdarat pasti mengadakan upacara adat baritan. Yaitu, syukuran yang diadakan di perempatan-perempatan jalan desa. Tahun ini uborampe lebih komplit dibanding dengan uborampe untuk upacara adat baritan tahun-tahun sebelumnya.
            Kenapa? Menurut keterangan Purwari, karena belum lama ini (pertengahan Nopember 2007) warga desa Wates sejumlah 170 orang baru saja terkena penyakit chikungunya. Maka uborampe untuk upacara adat baritan pada hari Rabu, tanggal 9 Januari 2008 kemarin dikomplitkan. Kalau uborampe tahun-tahun sebelumnya hanya takir plontang, jenang sura, jenang mancawarna, jenang abang, sega punar, sega mule, mas agung, gula gimbal, gula gringsing, pisang, buceng robyong, dan lada sega gurih (sekul suci ulam sari). Tahun ini (2008), ubarampenya kemudian ditambahi cok bakal, sajen, kembang setaman, buceng sewu, sega urap, pala kependem, pala gemandul, padi, dan kembar mayang.
            Upacara adat baritan tersebut dilaksanakan setelah Maghrib. Seluruh masyarakat Desa Wates keluar dari rumah, dan berkumpul diperempatan jalan desa. Untuk ibu-ibu sambil membawa takir plontang berisi berbagai hidangan dan sesaji. Diantaranya jenang sura, buceng kuat dan ingkung. Takir plontong adalah tempat nasi dan lauk pauk terbuat dari daun pisang diatasnya diberi janur. Sesaji dan hidangan tersebut diletakkan di kerumunan masyarakat. Dan hidangan itu bisa dinikmati, ketika sesepuh desa Wates usai memberi doa.
            Sebelum acara baritan itu dimulai, Rabu pagi, pemuda desa Wates mengadakan berbagai persiapan. Seperti, membersihkan desa, merangkai janur yang digunakan hiasan di setiap perempatan. Tidak hanya itu, para pemuda juga membuat dimar (lampu terbuat dari pohon bambu diberi minyak tanah). Dimar yang dipasang diperempatan tersebut, dinyalakan ketika menjelang petang. Dimar itu tidak hanya dipasang disatu perempatan, tettapi di seluruh perempatan desa Wates, sebanyak 24 perempatan. Bapak-bapak yang membuat kembang mayang. Sedangkan ibu-ibu dan remaja puteri, ramai-ramai membuat takir plontang, beserta isi dan sesaji.
            Purwari melanjutkan, rangkaian upacara adat baritan tidak hanya bersih desa, dan membuat takir plontang. Tetapi, juga ada sebagian masyarakat setelah shalat Subuh mengatamkan Al-Qur’an dibalai desa Wates. Khataman Al-Qur’an ini berakhir sekitar pukul 15.00. Setelah itu, masyarakat tidak ada yang keluar rumah atau musholah. Begitu shalat Maghrib selesai, masyarakat tidak langsung berbondong-bondong keluar rumah dan menuju ke perempatan. Tetapi mereka menunggu bunyi kentongan yang dipukul kamituwa. Mendengar bunyi kentongan tersebut, para pemuda, ibu-ibu, anak-anak, dan sesepuh desa langsung ke perempatan sambil membawa takir. Dan dimar sewu yang sudah dipasang pada pagi harinya langsung dinyalakan. Sedangkan malamnya, usai acara dilanjutkan, pagelaran kesenian uyon-uyon.
            Purwari mengatakan, tujuan digelar baritan, selain untuk membersihkan desa dari segala mara bahaya. Seperti penyakit chikunguya. Juga punya makna mempererat silaturahmi antar penduduk. Arena dalam acara itu, seluruh elemen masyarakat berkumpul jadi satu. Upacara adat baritan ini merupakan tradisi atau budaya yang dilaksanakan masyarakat desa Wates secara turun-temurun. Dan tradisi ini selalu digelar. Ketika tidak dilaksanakan, menurut kepercayaan masyarakat setempat, terjadi pageblug atau bencana.
*****

Sumber Informasi;
Nama          : Purwari
Umur                    : 38 tahun
Pekerjaan   : Guru
Asal Mula Nama Desa Tertek
Oleh : Nurul Khabibah

Menurut cerita dari sebagian para orang yang sudah tua dan tokoh-tokoh di desa Tertek, menyebutkan bahwa asal mula nama desa Tertek berawal dari sebuah jembatan. Pada zaman dahulu banyak para tokoh penting bertempat tinggal di sebuah tempat, kemudian tokoh tersebut membangun sebuah jembatan yang bertujuan untuk menghubungkan daerah satu dengan daerah lainnya untuk memperlancar perjalanannya.
Pada suatu hari dibangunkanlah jembatan oleh tokoh-tokoh tersebut, jembatan itu sangat berfungsi untuk menyeberang ke tempat lain. Maka lokasi penghubung tersebut biasa disebut dengan “Tertek” oleh sebagian orang Jawa. Dari situlah para tokoh-tokoh dahulu yang bertempat tinggal di daerah tersebut, menyebut daerahnya dengan sebutan “Tertek”. Hingga akhirnya semakin banyak orang yang bermukim di daerah tersebut. Berlahan tapi pasti, hingga akhirnya daerah tersebut semakin banyak yang bermukim di sekitar tertek. Sehingga masyarakat sekitar daerah tersebut menamakan kawasan tersebut dengan Tertek.
Tertek atau jembaran, merupakan suatu alat penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya, agar hubungan transportasi bisa berjalan lancar. Sampai sekarang, daerah Tertek masih ada dan menjadi tempat pemukiman padat penduduk.
*****

Sumber Informan;
Nama         : Bapak Hamzah Asanuddin
Umur                    : 51 Tahun
Pekerjaan   : Wiraswasta

Asal Mula Nama Desa Kalangbret
Oleh : Nurul Khabibah

Di sebuah kerajaan dilahirkan seorang pangeran yang diberi nama Pangeran Kalang. Namun sering dipanggil adipati Kalang, setelah beberapa bulan lahir lagi anak kedua, seorang putri cantik yang tepatnya diberi nama Putri Kembang Sore. Mereka berdua tambah dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Ibu mereka meninggal setelah melahirkan Putri Kembang Sore, namun ayah mereka memberikan kasih sayang yang lebih kepada mereka berdua. Sampai suatu ketika Adipati Kalang diam-diam menyukai adiknya sendiri, peristiwa tersebut tanpa diketahui oleh ayahnya.

Putri Kembang Sore memang dianugerahi kecantikan pada wajahnya, namun sebenarnya Putri Kembang Sore adalah seorang gadis yang liar. Hal tersebut dikarenakan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, karena sibuk dengan masalah kerajaan.

Adipati Kalang akhirnya memberanikan diri untuk berbicara kepada adiknya, bahwa dirinya mencintai adiknya sendiri dan ingin segera mempersuntingnya, akan tetapi Kembang Sore menolak, karena tidak mungkin dia harus menikah dengan kakaknya sendiri. Namun tetap saja Adipati Kalang bersikeras membujuk adiknya agar mau menjadi istrinya, tanpa peduli Putri Kembang Sore adalah adiknya sendiri. Setiap hari, Putri Kembang Sore berusaha menjauhi kakaknya sendiri, karena dia tidak ingin kalau kakaknya terus menerus memaksa dirinya dijadikan istri. Namun Adipati Kalang tetap memaksa Kembang Sore.

Adipati Kalang adalah orang yang sakti, sehingga dimana pun Putri Kembang Sore bersembunyi, Adipati Kalang tetap bisa menemukannya. Putri Kembang Sore sangat bingung dan ingin sekali kabur dari kerajaan, karena kelakukan dari kakaknya.

 Pada suatu saat seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit yang mempunyai nama Pangeran Lembu Peteng melihat kecantikan Putri Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak bisa mengungkapkan perasaannya, bahkan untuk mendekati Putri Kembang Sore saja tidak bisa, dikarenakan Adipati Kalang selalu mendampinginya.

Namun Pangeran Lembu Peteng tidak putus asa untuk bisa mendekati Putri Kembang Sore, walaupun setiap saat Adipati Kalang mendekatinya. Adipati Kalang ternyata mengetahui, bahwasanya Pangeran Lembu Peteng juga menaruh perasaan cinta kepada Putri Kembang Sore. Namun Pangeran Lembu Peteng tidak putus asa untuk terus mendekati Putri Kembang Sore.

Suatu hari Adipati Kalang mengundang Pangeran Lembu Peteng di sebuah tempat, di tempat itulah Adipati Kalang berniat untuk membunuh Pangeran Lembu Peteng dengan senjata kerisnya. Pertarungan pun akhirnya terjadi dengan sengit, pertarungan cukup lama, yang ternyata dimenangkan oleh Adipati Kalang dengan merobek-robek tubuhnya.

Karena kejadian itulah tempat atau daerah tersebut diberi nama “Kalangbret”. Saat kejadian tersebut, Putri Kembang Sore melarikan diri ke sebuah gunung, dan disitulah Putri Kembang Sore menjadi seorang ratu. Namun tetap saja Adipati Kalang bisa menemukannya, karena kesaktiannya yang dimiliki. Tetapi Putri Kembang Sore tetap menolak bujukan Adipati Kalang. Sehingga kesabaran Adipati Kalang pun habis, akhirnya dibunuhlah Putri Kembang Sore, dan menguburkannya di gunung tersebut. Gunung tersebut saat ini bernama “Gunung Cilik” yang berada di daerah Kalangbret, namun kawasan gunung tersebut sering dikenal dengan sebutan Gunung Mbolo.
*****
Sumber Informan;Ibu Wiwit; 60 Tahun; Bertani

Asal Mula Nama Daerah Bandung
Oleh : Nurul Khabibah

Dahulu desa Bandung merupakan sebuah wilayah yang berkecukupan dan memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Di tempat tersebut terdapat sebuah sumber air yang lumayan besar dan setiap petani sering memakainya sebagai pengairan sawah (baca: irigasi). Akan tetapi hal tersebut berubah ketika Adipati di daerah tersebut diganti dengan seorang Adipati yang tamak, rakus, dan kikir, sebut saja dengan Adipati Hadijaya. Seluruh sumber air yang ada di daerah tersebut dikuasai olehnya, sehingga penduduk mengalami kesulitan untuk mengairi sawahnya, sehingga petani mengalami kerugian besar.
Nasib para penduduk di daerah tersebut sungguh menyedihkan, kelaparan terjadi di mana-mana. Hingga akhirnya berita tersebut didengar oleh putri Adipati Hadijaya yang bernama Putri Roro Jonggrang, dia adalah putri Adipati Hadijaya. Roro Jonggrang tersebut memiliki sifat seperti ibunya, yang lemah lembut namun tegas dalam bertindak. Dia meminta pada ayahandanya untuk memberikan pengairan terhadap sawah-sawah penduduk, tapi sang ayah menolak.
Sang putri besikeras untuk mempertahankan pendirinya untuk menolong penduduk, agar pengairan dapat diberikan kepada warga, biar para petani dapat bertani dengan baik. Selama tujuh hari sang putri bersimpuh pada ayahandanya, akhirnya pada malam ke tujuh hari, hati sang ayah luluh. Adipati Hadijaya mengabulkan permintaan putrinya tersebut, asalkan sang putri mau menikah dengan seorang raja dari kerajaan tetangga.
Mau tidak mau dan juga berat hati, akhirnya Roro Jonggrang harus menuruti permintaan ayahandanya. Ketika Bandung Bondowoso tiba, raja yang hendak meminang putri Roro Jonggrang. Mereka berdua pergi ke sebuah tempat, yaitu sebuah sumber air. Ketika sudah sampai di sumber air tersebut, Roro Jonggrang langsung melemparkan kalung yang sangat disayanginya.
Kalung tersebut adalah pemberian dari ibunya, sehingga Roro Jonggrang langsung meminta pada Bandung agar mau mengambilkan kalung tersebut. Jika mampu mengambilnya, maka Bandung akan menjadi suaminya. Ketika Bandung masuk ke sumber air, dengan cekatan sang putri segera menendang batu untuk menutupi sumber air tersebut, sehingga Bandung tertutup di dalam sumber air tersebut.
Tiba-tiba batu tersebut terlempar, Bandung akhirnya mampu keluar dan meminta penjelasan dari sang putri apa maksud dari ini semua. Dengan menangis sang putri menjelaskan, bahwa dirinya diminta ayahnya agar membunuh Bandung. Supaya Adipati Hadijaya dapat menguasai wilayah kerajaan Bandung.
Saat itu Bandung merasa sangat marah sekali, bercampur dengan kesal hawa nafsunya, pada saat itu amarahnya tidak bisa dibendung lagi. Bandung lekas menghampiri Adipati Hadijaya dan menusuknya dengan senjata handalannya, akhirnya tidak lama kemudian Adipati Hadijaya mati ditangan Bandung. Secara tidak langsung akhirnya Bandung menggantikan kekuasaan Adipati Hadijaya. Bandung akhirnya menikah dengan Roro Jonggrang. Mereka berdua menikah dan juga hidup bahagia serta masyarakat menyukai mereka berdua sebagai pemimpin daerah tersebut.
*****
Sumber Informasi;
Nama              : Ibu Syamsiah
Umur              : 68 Tahun
Pekerjaan      : Ibu rumah tangga
           

0 komentar:

Posting Komentar