COPADA_IPA 2

Grup IPA 2 MAN REJOTANGAN / MAN 3 Tulungagung

COPADA_IPA 2

Dibentuk pada Tahun 2012

COPADA_IPA 2

Dibentuk di Sebuah Ruangan "The Litle Box to get Success"

COPADA_IPA 2

Terdiri Dari 31 Anak, 6 Laki-Laki

COPADA_IPA 2

31 Anak, 25 Perempuan

Jam

Rabu, 20 November 2013

Ibu Kota Senja

Toto Sudarto Bachtiar

 

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari

Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi

Di sungai kesayangan, o, kota kekasih

Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi

Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan

 

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja

Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya

0, kota kekasih

Tekankan aku pada pusat hatimu

Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

 

Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia

Sumber-sumber yang murni terpendam

Senantiasa diselaputi bumi keabuan

Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas

Menunggu waktu mengangkut maut

 

Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana

Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan

Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari

Serta keabadian mimpi-mimpi manusia


Klakson dan lonceng bunyi bergiliran

Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari

Antara kuli-kuli yang kembali

Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan

 

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa

Di bawah bayangan samar istana kejang

Layung-layung senja melambung hilang

Dalam hitam malam menjulur tergesa

 

Sumber-sumber murni menetap terpendam

Senantiasa diselaputi bumi keabuan

Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas

0, kota kekasih setelah senja

Kota kediamanku, kota kerinduanku

 

 

 

Memahami Puisi, 1995

Mursal Esten

 

Pahlawan Tak Dikenal

Toto Sudarto Bahtiar


Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang


Dia tidak ingat bilamana dia datang

Kedua lengannya memeluk senapang

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang

Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang


wajah sunyi setengah tengadah

Menangkap sepi padang senja

Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu

Dia masih sangat muda


Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun

Orang-orang ingin kembali memandangnya

Sambil merangkai karangan bunga

Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya


Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

(1955)

 

Siasat,

Th IX, No. 442 1955

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

 

Kembalikan Indonesia Padaku

Taufik Ismail


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
 

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, 

yang menyala bergantian, 

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam 

dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam 

karena seratus juta penduduknya, 


Kembalikan
 

Indonesia 

padaku 

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
 

dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, 

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam 

lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, 

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, 

dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, 

sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 

Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang 

sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam 

dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 


Kembalikan
 

Indonesia 

padaku 

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
 

dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam 

karena seratus juta penduduknya, 

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 


Kembalikan
 

Indonesia 

padaku

 

 

 

Paris, 1971

Sebuah Jaket Berlumur Darah

Taufiq Ismail

 

Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah pergi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita

Di bawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan

Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’

Berikara setia kepada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu

Kami semua telah menatapmu

Dan di atas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

Lanjutkan perjuangan!

 

 

Membaca Tanda-Tanda

Taufiq Ismail

 

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas

dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara

abu-abu warnanya

Kita saksikan air danau

yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil

tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting

Ranting kehilangan daun

Daun kehilangan dahan

Dahan kehilangan

Hutan

Kita saksikan zat asam

didesak asam arang

dan karbon dioksid itu

menggilas paru-paru

Kita saksikan

Gunung memompa abu

Abu membawa batu

Batu membawa lindu

Lindu membawa longsor

Longsor membawa air

Air membawa banjir

Banjir membawa air

Air

Mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah

Kami telah membaca gempa

Kami telah disapu banjir

Kami telah dihalau api dan hama

Kami telah dihujani abu dan batu

Allah

Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca

Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya

mulai lepas dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kami

mulai

merindukannya.

 

 

Bayi lahir Bulan Mei 1998

Taufiq Ismail

 

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga

suaranya keras menangis berhiba-hiba

Begitu lahir ditating tangan bidannya

Belum kering darah dan air ketubannya

Langsung dia memikul hutang di bahunya

Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani

Dia akan mensubsidi beras orang kota

Kalau dia jadi orang kota

Dia akan mensubsidi pengusaha kaya

Kalau dia bayar pajak

Pajak itu mungkin baru peluru runcing

Ke arah aortanya dibidikkan mendesing

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga

Mulutmu belum selesai bicara

kau pasti dikencinginya

 

Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini

Taufiq Ismail

 

Tidak ada lagi pilihan

Kita harus berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

berarti hancur

apakah akan kita jual keyakinan kita

dalam pengabdian tanpa harga

akan maukah kita duduk satu meja

dengan para pembunuh tahun yang lalu

dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku!”

Tidak ada lagi pilihan

Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu,

Yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka

Kita yang tak punya dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan

Kita harus berjalan terus

 

Aku Tulis Pamplet Ini

WS. Rendra


Aku tulis pamplet ini

karena lembaga pendapat umum

ditutupi jaring labah-labah

Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,

dan ungkapan diri ditekan

menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini

bisa luput besok pagi

Ketidakpastian merajalela.

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki

menjadi marabahaya

menjadi isi kebon binatang


Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,

maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam

Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.

Tidak mengandung perdebatan

Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan


Aku tulis pamplet ini

karena pamplet bukan tabu bagi penyair

Aku inginkan merpati pos.

Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku

Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.


Aku tidak melihat alasan

kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.

Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.


Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.

Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.


Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.

Rembulan memberi mimpi pada dendam.

Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah


yang teronggok bagai sampah

Kegamangan. Kecurigaan.

Ketakutan.
Kelesuan.


Aku tulis pamplet ini

karena kawan dan lawan adalah saudara

Di dalam alam masih ada cahaya.

Matahari yang tenggelam diganti rembulan.

Lalu besok pagi pasti terbit kembali.

Dan di dalam air lumpur kehidupan,

aku melihat bagai terkaca :

ternyata kita, toh, manusia !

 

 

 

Pejambon Jakarta 27 April 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

Gugur

WS. Rendra


Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya


Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua

luka-luka di badannya


Bagai harimau tua

susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga

menatap musuh pergi dari kotanya


Sesudah pertempuran yang gemilang itu

lima pemuda mengangkatnya

di antaranya anaknya

Ia menolak

dan tetap merangkak

menuju kota kesayangannya


Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak

mautpun menghadangnya.

Ketika anaknya memegang tangannya

ia berkata :

” Yang berasal dari tanah

kembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanah

tanah Ambarawa yang kucinta

Kita bukanlah anak jadah

Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita

dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.

Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.

Ia adalah bumi nenek moyang.

Ia adalah bumi waris yang sekarang.

Ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malam

Bumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa


Orang tua itu kembali berkata :

“Lihatlah, hari telah fajar !

Wahai bumi yang indah,

kita akan berpelukan buat selama-lamanya !

Nanti sekali waktu

seorang cucuku

akan menacapkan bajak

di bumi tempatku berkubur

kemudian akan ditanamnya benih

dan tumbuh dengan subur

Maka ia pun berkata :

-Alangkah gemburnya tanah di sini!”


Hari pun lengkap malam

ketika menutup matanya

 

 

Jakarta, 29 Pebruari 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

 

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api

WS. Rendra

 

Bagaimana mungkin kita bernegara

Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

Bagaimana mungkin kita berbangsa

Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup

bersama ?

Itulah sebabnya

Kami tidak ikhlas

menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris

dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu

sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang

udara panas yang bergetar dan menggelombang,

bau asap, bau keringat

suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki

langit berwarna kesumba

 

Kami berlaga

memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.

Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata

yang bisa dialami dengan nyata

Mana mungkin itu bisa terjadi

di dalam penindasan dan penjajahan

Manusia mana

Akan membiarkan keturunannya hidup

tanpa jaminan kepastian ?

 

Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah

Hidup yang diperkembangkan

dan hidup yang dipertahankan

Itulah sebabnya kami melawan penindasan

Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan

bangsa tetap terjaga

 

Kini aku sudah tua

Aku terjaga dari tidurku

di tengah malam di pegunungan

Bau apakah yang tercium olehku ?

 

Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu

yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?

Ataukah ini bau limbah pencemaran ?

 

Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?

Apakah ini deru perjuangan masa silam

di tanah periangan ?

Ataukah gaduh hidup yang rusuh

karena dikhianati dewa keadilan.

Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku

dibangunkan oleh mimpi ?

Apakah aku tersentak

Oleh satu isyarat kehidupan ?

Di dalam kesunyian malam

Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !

Apakah yang terjadi ?

 

Darah teman-temanku

Telah tumpah di Sukakarsa

Di Dayeuh Kolot

Di Kiara Condong

Di setiap jejak medan laga. Kini

Kami tersentak,

Terbangun bersama.

Putera-puteriku, apakah yang terjadi?

Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?

Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,

Apakah kita masih sama-sama setia

Membela keadilan hidup bersama

 

Manusia dari setiap angkatan bangsa

Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga

Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi

Dan menghadapi pertanyaan jaman :

Apakah yang terjadi ?

Apakah yang telah kamu lakukan ?

Apakah yang sedang kamu lakukan ?

Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna

Dari jawaban yang kita berikan.

 

 

 

Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri 

pada Hari Kebangkitan Nasional 1990

 

Sajak Mata-Mata

WS. Rendra

 

Ada suara bising di bawah tanah. 

Ada suara gaduh di atas tanah. 

Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. 

Ada tangis tak menentu di tengah sawah. 

Dan, lho, ini di belakang saya 

ada tentara marah-marah.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 

 

Aku melihat isyarat-isyarat. 

Semua tidak jelas maknanya. 

Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, 

menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan 

menyesakkan perasaan, 

membuat keresahan – 

Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi 

terjadi tanpa kutahu telah terjadi. 

Aku tak tahu. Kamu tak tahu. 

Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu, 

kalau koran-koran ditekan sensor, 

dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. 

Koran-koran adalah penerusan mata kita. 

Kini sudah diganti mata yang resmi. 

Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. 

Kita hanya diberi gambara model keadaan 

yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut. 

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. 

Mata pemerintah juga diancam bencana. 

Mata pemerintah memakai kacamata hitam. 

Terasing di belakang meja kekuasaan. 

Mata pemerintah yang sejati 

sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya. 

Banyak makannya. 

Sukar diaturnya. 

Sedangkan laporannya 

mirip pandangan mata kuda kereta 

yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur, 

semua orang marah-marah. 

Rakyat marah, pemerinta marah, 

semua marah lantara tidak punya mata. 

Semua mata sudah disabotir. 

Mata yang bebas beredar hanyalah mata-mata.

 

 

 

Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 

Potret Pembangunan dalam Puisi

 

Sajak peperangan Abimanyu

WS. Rendra

 

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.

Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya

Hatinya damai

di dalam dadanya yang bedah dan berdarah

karena ia telah lunas

menjalani kewjiban dan kewajarannya

Setelah ia wafat

apakah petani-petani akan tetap menderita

dan para wanita kampung

tetap membanjiri rumah pelacuran di kota 

Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup

Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya

ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka

Saat itu ia mendengar

nyanyian angin dan air yang turun dari gunung

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa

Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan

Di saat badan berlumur darah

jiwa duduk di atas teratai

Ketika ibu-ibu meratap

dan mengurap rambut mereka dengan debu

roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala

untuk menanam benih

agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas

dari zaman ke zaman.

 

 

Jakarta, 2 Sptember 1977 

Potret Pembangunan dalam Puisi

 

Sajak sebatang Lisong

WS. Rendra

 

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya

mendengar 130 juta rakyat

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang

berak di atas kepala mereka

Matahari terbit

Fajar tiba

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan

Aku bertanya

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet 

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya

Menghisap udara

yang disemprot deodorant

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun

Dan di langit

para tekhnokrat berkata

bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam

terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon

yang bersajak tentang anggur dan rembulan

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya

di bawah iklan berlampu neon

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau

menjadi karang di bawah muka samodra

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

Kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa-desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat

Apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

Apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan.

 

 

19 Agustus 1977 
ITB Bandung 
Potret Pembangunan dalam Puisi

Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang

WS. Rendra

 

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,

perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan

oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku

 

 

Mimbar Indonesia

Th. XIV, No. 25; 18 Juni 1960

Gerilya

WS. Rendra

 

Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling di jalan


Angin tergantung

terkecap pahitnya tembakau

bendungan keluh dan bencana


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Dengan tujuh lubang pelor

diketuk gerbang langit

dan menyala mentari muda

melepas kesumatnya


Gadis berjalan di subuh merah

dengan sayur-mayur di punggung

melihatnya pertama


Ia beri jeritan manis

dan duka daun wortel


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Orang-orang kampung mengenalnya

anak janda berambut ombak

ditimba air bergantang-gantang

disiram atas tubuhnya


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Lewat gardu Belanda dengan berani

berlindung warna malam

sendiri masuk kota

ingin ikut ngubur ibunya.

 

 

 

Siasat
Th IX, No. 42

1955

Tahanan

WS. Rendra

 

Atas ranjang batu

tubuhnya panjang

bukit barisan tanpa bulan

kabur dan liat

dengan mata sepikan terali

Di lorong-lorong

jantung matanya

para pemuda bertangan merah

serdadu-serdadu Belanda rebah

Di mulutnya menetes 

lewat mimpi

darah di cawan tembikar

dijelmakan satu senyum

barat di perut gunung

(Para pemuda bertangan merah

adik lelaki neruskan dendam)

Dini hari bernyanyi

di luar dirinya

Anak lonceng

menggeliat enam kali

di perut ibunya

Mendadak

dipejamkan matanya

Sipir memutar kunci selnya

dan berkata

-He, pemberontak

hari yang berikut bukan milikmu !

Diseret di muka peleton algojo

ia meludah

tapi tak dikatakannya

-Semalam kucicip sudah

betapa lezatnya madu darah.

Dan tak pernah didengarnya

enam pucuk senapan

meletus bersama

 

 

 

Kisah
Th VI, No 11

Nopember 1956

Tanah Air Mata

Sutardji Calzoum Bachri

 

Tanah airmata tanah tumpah dukaku

mata air airmata kami

airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri

menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu

kami simpan perih kami

di balik etalase megah gedung-gedungmu

kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa

kami coba kuburkan duka lara

tapi perih tak bisa sembunyi

ia merebak kemana-mana

bumi memang tak sebatas pandang

dan udara luas menunggu

namun kalian takkan bisa menyingkir

ke manapun melangkah

kalian pijak airmata kami

ke manapun terbang

kalian kan hinggap di air mata kami

ke manapun berlayar

kalian arungi airmata kami

kalian sudah terkepung

takkan bisa mengelak

takkan bisa ke mana pergi

menyerahlah pada kedalaman air mata

 

 

Jembatan

Sutardji Calzoum Bachri

 

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata

bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi

dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.

Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang

jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.

Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam

para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.

Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase

indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit

mengucap

tanah air kita satu

bangsa kita satu

bahasa kita satu

bendera kita satu !

Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan

mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan

tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah

yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang

di antara kita ?

Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot

linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati

dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu

mengucapkan kibarnnya.

Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

 

Do’a Untuk Indonesia

Abdul Hadi WM

 

Tidakkah sakal, negeriku ? Muram dan liar

Negeri ombak

Laut yang diacuhkan musafir

karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman

Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri

Negeri burung-burung gagak

Yang bertelur dan bersarang di muara sungai

Unggas-unggas sebagai datang dan pergi

Tapi entah untuk apa

Nelayan-nelayan tak tahu

Aku impikan sebuah tambang laogam

Langit di atasnya menyemburkan asap

Dan menciptakan awan yang jenaka

Bagai di badut dalam sandiwara

Dengan cangklong besar dan ocehan

Batuk-batuk keras

Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia

Adalah berita-berita yang ditulis

Dalam bahasa yang kacau

Dalam huruf-huruf yang coklat muda

Dan undur dari bacaan mata

Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?

Kincir-kincir angin itu

Seperti sayap-sayap merpati yang penyap

Dan menyebarkan lelap ke mana-mana

Sebagai pupuk bagi udaranya


Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya

Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin

Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia

Negeri ular sawah

Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur

Tumpukan jerami basah

Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk

Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun

Untuk persta-pesta barbar

Indonesia adalah buku yang sedang dikarang

Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan

Di kantor penerimaan tenaga kerja

Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta

Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya

Dan mulutnya ternganga

Tatkala bencana mendamprat perutnya

Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?

Di dekat jembatantua

malaikat-malaikat yang celaka

Melagu panjang

Dan lagunya tidak berarti apa-apa

Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh

Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?

Ratusan gagak berisik menuju kota

Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan

Puluhan orang bergembira

Di atas bayangan mayat yang berjalan

Memasuki toko dan pasar

Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak

Dan emas tiruan

Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur

yang atapnya bocor dan administrasinya kacau

Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk

Indonesia adalah sebuah kamus

Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet

Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik

Sampai mata menjadi bengkak

Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,

kata sifat

Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu

Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?

Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?

Berisik lagi, berisiklagi :

Gerbong-gerbong kereta

membawa penumpang yang penuh sesak

dan orang-orang itu pada memandang ke sorga

Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :

Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini

Melata di bumi merusaki hutan-hutan

Dan kebun-kebunmu yang indah permai

Mengapa kaubiarkan mereka


Negeri ombak

Badai mengeram di teluk

Unggas-unggas bagai datang dan pergi

Tapi entah untuk apa

Nelayan-nelayan tak tahu.

 

 

Karawang Bekasi

Chairil Anwar

 

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Indonesia Tumpah Darahku

Muhammad Yamin

 

Bersatu kita teguh

Bercerai kita runtuh

Duduk di pantai tanah yang permai

Tempat gelombang pecah berderai

Berbuih putih di pasir terderai

Tampaklah pulau di lautan hijau

Gunung-gunung bagus rupanya

Dilingkari air mulia tampaknya

Tumpah darahku Indonesia namanya

Lihatlah kelapa melambai-lambai

Berdesir bunyinya sesayup sampai

Tumbuh di pantai bercerai-cerai

Memagar daratan aman kelihatan

Dengarlah ombak datang berlagu

Mengejar bumi ayah dan ibu

Indonesia namanya. Tanah airku

Tanahku bercerai seberang-menyeberang

Merapung di air, malam dan siang

Sebagai telaga dihiasi kiambang

Sejak malam diberi kelam

Sampai purnama terang-benderang

Di sanalah bangsaku gerangan menompang

Selama berteduh di alam nan lapang

Tumpah darah Nusa India

Dalam hatiku selalu mulia

Dijunjung tinggi atas kepala

Semenjak diri lahir ke bumi

Sampai bercerai badan dan nyawa

Karena kita sedarah-sebangsa

Bertanah air di Indonesia

 

Bahasa, Bangsa

Muhammad Yamin

 

Sejak kecil berusia muda,

Tidur si anak di pangkuan bunda

Ibu bernyanyi, lagu dan dendang

Memuji si anak banyaknya sedang;

Berbuai sayang tergantung di tanah moyang

 

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri

Diapit keluarga kanan dan kiri

Besar budiman di tanah Melayu

Berduka suka, sertakan rayu;

Perasaan serikat menjadi padu

Dalam bahasanya, permai merdu

 

Merayap menangis bersuka raya

Dalam bahagia bala dan baya;

Bernafas kita pemanjangan nyawa

Dalam bahasa sambungan jiwa

Di mana Sumatra, di situ bangsa

Di mana Perca, di sana bahasa

 

Andalasku sayang, jana bejana

Sejakkan kecil muda teruna

Sampai mati berkalang tanah

Lupa ke bahasa, tiadakan pernah

Ingat pemuda, Sumatera malang

Tiada bahasa, bangsa pun hilang

 

 

 

Sastra Baru Indonesia I, A. Teeuw, Nusa Indah, Ende, Flores, 1980

Daerah Perbatasan

Subagio Sastrowardoyo

 

Kita selalu

berada di daerah perbatasan

antara menang dan mati. Tak boleh lagi

ada kebimbangan memilih keputusan :

Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.

Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,

Juga kehormatan bagi manusia

dan keturunan. Atau kita menyerah saja

kepada kehinaan dan hidup tak berarti.

Lebih baik mati. Mati lebih mulia

dan kekal daripada seribu tahun

terbelenggu dalam penyesalan.

Karena itu kita tetap di pos penjagaan

atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman

dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.

(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup

menuntut pertaruhan, dan kematian hanya

menjamin kita menang. Tetapkan hati.

tak boleh lagi ada kebimbangan

di tengah kelaliman terus mengancam.

Taruhannya hanya mati.

Kita telah banyak kehilangan :

 

waktu dan harta, kenangan dan teman setia

selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :

Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan

hilangnya ketakutan pada kesulitan.

Kita telah tahu apa artinya menderita

di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian

hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi

demi kemenangan ini. Percayalah :

Buat kebahagiaan bersama

tak ada korban yang cukup berharga. Tapi

dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan

yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti

di hari esok : kedamaian atau pembunuhan

lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan

dalam membangun hari depan : pendidikan

tak selesai, cita-cita pribadi hancur

dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus

hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus

bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan

Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian

Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.

Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar

rumah terus menunggu seekor srigala.

Waktu peluru pertama meledak

Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat

Tangan penuh kerja dan mata terjaga

mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat

Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara

hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,

atau jerit hati

mendendam mau membalas

kematian.

Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.

Kalau peluru pertama meledak

Kita harus paling dulu menyerang

dan mati atau menang

Mintalah pamit kepada anak dan keluarga

dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta

dan bersenang. Kita simpan kesenian dan

budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata

selagi muda

dan mati atau menang.

 

Bahasaku

Mozasa

 

Aku menya’ir, aku bernalam

mencurai kasih melimpah sayang,

berbisik sedih bersorai girang,

dengan bahasa seri pualam.

 

Aku bernyanyi mengayun padi

memikul bulir memberat emas,

aku menghimbau burung bebas,

dengan bahasa-moyangku asli.

 

Bukan hina bahasaku kini,

tidak kaku ia tersenyum,

hebat – gembira ia menderum,

tangkas – cekatan ia mencari.

 

O  saudara congkak mulia,

melonjak khidmat bahasa Sana

memuji tinggi bahasa orang.

Mari sertaku ke taman indah,

membelai memupuk bahasa kita,

biar sukur megah menjulang.

 

 

 

Pujangga Baru, No, Th. IV, April 1937

 

Generasi Sekarang

Asmara Hadi

 

Di atas puncak gunung fantasi

Berdiri aku, dan dari sana

Memandang ke bawah, ke tempat berjuang

Generasi sekarang di padang masa

 

Menciptakan kemegahan baru

Panteon keindahan Indonesia

Yang akan jadi kenang-kenangan

Pada zamannya dalam dunia

 

Bersoorak jiwaku girang-gemirang

Tampil kegembiraan limpah-melimpah

Dalam kencana sinar-suminar

 

Bagai angkatan kapal terbang

Gembira dahsyat getarkan udara

Begitulah angkatan zaman sekarang

Dunia raya penuh suara

 

Dan jiwaku merasa penuh tahu

Generasi sekarang pasti akan menang

Akan ninggalkan bekas dan jejak

Dalam riwayat abadi dan terang.

 

Nasib Tanah Airku

Asmara Hadi

 

I

Panas yang terik datang membakar,

Lemahlah kembang hampirkan mati,

Tunduk tergantung bersedih hati,

Mohon air kepada akar.

 

Mendapat air amatlah sukar,

Belumlah turun hujan dinanti,

Musim kemarau belum berhenti,

Angin bertiup belum bertukar.

 

Seperti kembang hampirkan layu,

Lemah tampaknya, rawan dan sayu,

Demikianlah ‘kau Indonesia

 

Nasibmu malang amatlah celaka,

Hidup dirundung malapetaka,

Tidak mengenal rasa Bahagia.

 

II

Mentari datang menghalaukan malam,

Menyinarkan senyum penuh cahaya,

Dunia lah bangun member sala,

Nyanyian yang merdu menyambut surya.

 

Lihatlah teratai di dalam kolam,

Tersenyum membuka kuntumnya, dia,

Menghamburkan harum ke dalam alam,

Pemuja pagi gemilang mulia

 

Memandang pagi menyedapkan mata,

Keraguan hati hilang semata,

Memikirkan nasib Tanah Airku.

 

Seperti mentari di kala pagi,

Kemerdekaan tentu datang lagi,

Menerangi Tanah tempat lahirku.

 

Selamat Pagi Indonesia

Sapardi Djoko Damono        

 

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk

dan menyanyi kecil buatmu.

aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,

dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam

kerja yang sederhana;

bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan

tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.

selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,

di mata para perempuan yang sabar,

di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;

kami telah bersahabat dengan kenyataan

untuk diam-diam mencintaimu.

pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu

agar tak sia-sia kau melahirkanku.

seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam

padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.

aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,

merubuhkan kesangsian,

dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng

kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman

yang megah,

biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu

wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,

para perepuan menyalakan api,

dan di telapak tangan para lelaki yang tabah

telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil

memberi salam kepada si anak kecil;

terasa benar : aku tak lain milikmu..